Dengan pasukan yang mencapai 13.000 prajurit, mereka menyerang Surakarta dan menguasai sebagian besar wilayah Mataram.
Akhirnya, pada tahun 1755, mereka menandatangani Perjanjian Giyanti dengan VOC dan Pakubuwana III, yang mengakui kekuasaan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta.
Pendirian Mangkunegaran
Karena merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi yang tidak memberinya wilayah yang cukup dalam perjanjian tersebut, Pangeran Sambernyawa tetap melancarkan perlawanan terhadap VOC, Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I.
Tidak ada satu pun dari mereka yang mau ia serahkan.
Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC, memberinya julukan Pangeran Sambernyawa karena ia dikenal sebagai prajurit yang gagah berani dan kejam terhadap musuhnya. Ia dikatakan mampu menyebabkan banyak korban dari pihak lawan.
Setelah bertahun-tahun berperang, ia akhirnya menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Pakubuwana III pada tahun 1757, yang memberinya wilayah seluas 4.000 cacah (kepala keluarga) dan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.
Dengan demikian, ia menjadi pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di Surakarta.
Di dekat alun-alun Surakarta, ia membangun keraton baru dan memerintah hingga meninggal pada 23 Desember 1795.
Warisan budaya dan keagamaan
Selain sebagai ahli strategi perang, Mangkunegara I juga pencipta seni tari. Beberapa tarian sakral yang diciptakan olehnya antara lain: Bedhaya Mataram Senapaten Anglirmendung, Bedhaya Mataram Senapaten Diradameta, dan Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama.
KOMENTAR