Sejak itu, pesan-pesan jarak jauh "Valkyrie" yang dikirimkan Stauffenberg dan kawan-kawan mengalir deras lewat rumah sandi. Begitu banyaknya perintah yang harus dikirim, lama-kelamaan petugas lalu-lintas sandi kewalahan. Kantor pengirim pesan mengalami kemacetan pada semua sirkuitnya. Untuk memecah kebuntuan, petugas kemudian memanfaatkan sirkuit yang melalui markas besar Hitler.
Akibatnya, perintah-perintah kudeta sampai juga di meja sang Fuhrer. Sejak itu Hitler tahu, upaya pembunuhan itu tidak semata mata kerja satu orang, tapi merupakan sandi kudeta. Hitler lalu membalas dengan menginstruksikan petugas sandi menahan semua pesan tertulis jarak jauh, sambil menambahkan Fuhrer tidak mati, dan semua pesan yang telah dikirim merupakan aksi kudeta, pengkhianatan para perwira di bawah komando panglima perang pasukan pengganti.
Di Markas Angkatan Darat, perlakuan ramah Stauffenberg terhadap Fromm berakibat fatal. Atasannya itu melanggar janji untuk tidak berbicara dengan Hitler maupun Keitel tanpa izin Hoepner. Di dalam kamarnya, Fromm beberapa kali menelepon sang Fuhrer.
Tepat pukul 18.45, Radio Jerman mengumandangkan pengumuman pertamanya, "Sebuah serangan bom telah ditujukan pada Fuhrer hari ini. Berikut ini para pengawal pribadi beliau yang terluka parah: Letnan Jenderal Schmundt, Kolonel Brandt. Sedangkan yang cedera ringan: Kolonel Jenderal Jodl, Jenderal Korten, Jenderal Buhle, Jenderal Bodenschatz, Jenderal Heusinger, Jenderal Scherff, Laksamana Voss, Laksamana von Puttkammer, dan Letnan Kolonel Borgmann. Fuhrer sendiri hanya mengalami luka bakar ringan dan memar."
Pengumuman itu keruan membuat bingung pihak penerima perintah "Valkyrie", termasuk batalion pimpinan Mayor Reimer yang sedang menjaga sejumlah gedung pemerintah. Alih-alih mendukung "Valkyrie", Rimer malah terbujuk oleh Hitler untuk mengamankan Berlin. Dia diberi kewenangan luar biasa – melebihi kewenangan seorang jenderal - untuk menekan para perwira yang melakukan kudeta.
Pukul 21.00, petugas pusat lalu-lintas sandi menerima pesan dari markas besar Hitler. Pesan yang ditandatangani Keitel itu dialamatkan ke Jenderal Olbricht. Perintahnya berbunyi: "Fuhrer telah mengangkat SS Reichsfuhrer, Himler sebagai panglima perang pasukan pengganti, dan telah memberinya kekuasaan penuh. Perintah-perintah hanya boleh diterima dari SS Reichsfuhrer dan aku. Perintah apa pun yang diterima dari Fromm, von Wizleben, atau Hoepner tidak sah."
Menjelang tengah malam, suasana kian mencekam. Jenderal Beck dan Laksamana Tempur Wizleben bertengkar hebat. Sedangkan Stauffenberg, Kolonel Mertz von Quirnheim, Letnan von Haeften, dan Jenderal Olbricht memutuskan berjuang sampai mati. Situasi makin buruk ketika lengan Stauffenberg ditembak dari belakang, saat melintas di sebuah gang di luar gedung. Mereka lalu memutuskan memperkuat pengamanan gedung dengan bergan tian berpatroli.
Fromm yang sadar berada di atas angin, meminta Stauffenberg menyerah. Haeften spontan mengarahkan revolvernya ke kepala Fromm, tapi Stauffenberg memberi isyarat agar ajudannya itu tidak macam-macam. Fromm lalu diperbolehkan meninggalkan ruangan. Dia kembali beberapa waktu kemudian, bersama pasukan pro-Hitler yang telah mengepung gedung. Fromm juga mengumumkan telah mengadakan pengadilan militer singkat dan memvonis mati empat perwira, "Kolonel Mertz, Jenderal Olbricht, kolonel yang namanya tidak lagi aku kenal ini (maksudnya Stauffenberg), dan letnan ini (Haeften)."
Keempat orang itu segera digiring keluar gedung. Haeften membantu membopong Stauffenberg yang terluka. Mereka diminta berbaris menghadap dinding. Bersamaan dengan itu, lampu mobil patroli dinyalakan untuk menerangi tempat eksekusi. Dorrr! Door! Dorrr! Dorrr! Satu per satu mereka dieksekusi mati. Cerita pun selesai sudah. Stauffenberg (37 tahun) telah memiliki segalanya: kebangsawanan, medali penghargaan, pujian, dan karier cemerlang. Sayang, dia tidak memiliki keberuntungan justru di saat yang menentukan.
--
Pernah ditulis di Majalah Intisari edisi November 2006 dengan judul asli "Stauffenberg Nyaris Membunuh Hitler"
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR