Intisari-Online.com - Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian.
Dalam novel-novel karya sastra kolonial, nyai dipergunakan sebagai lambang degenerasi, lambang peruntuhan masyarakat kolonial.
Nyai dianggap tidak beradab dan kerap kali mengalami diskriminasi rasial, dengan anggapan keturunan dari hasil hubungan dengan nyai menghasilkan degenerasi, atau runtuhnya keturunan bangsa Eropa yang luhur.
Pada era VOC berkuasa sejak tahun 1652, hanya para petinggi, pejabat, dan saudagar VOC penting yang diperbolehkan membawa istri ke Hindia-Belanda.
Pembatasan kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dengan dalih bahwa keberadaan para wanita Belanda di Hindia-Belanda akan semakin menyulitkan kondisi keuangan dan perekonomian para pegawai Belanda.
Kebijakan tersebut kemudian berdampak pada dimulainya era nyai di Hindia-Belanda, dimana para pegawai Belanda dapat memilih wanita Jawa untuk dijadikan gundik, sebagai pelayannya di rumah.
Hal tersebut menggugah Ferdinand Wiggers untuk menulis tentang kisah seorang Belanda yang benar-benar jatuh cinta kepada gadis Jawa, Isah.
Tatapannya kepada Isah, menyiratkan bahwa Verkerk benar-benar kesengsem dengan gadis manis Jawa itu.
Nampaknya Verkerk benar jatuh hati, bukan karena untuk dijadikan gundiknya, tapi cinta yang sebenarnya.
Novel percintaan antara Paul Verkerk dengan Nyai Isah adalah suguhan lain tentang kisah Nyai di era Hindia-Belanda.
Novel berjudul Tjerita Njai Isah digubah oleh Ferdinand Wiggers, penulis yang mahir membuat diksi-diksi berbahasa melayu, pada tahun 1904.
Ia menuliskan kisah dari percintaan beda ras dan etnis, antara seorang Belanda dengan pribumi Jawa.
Wiggers menuliskan, awal mula percintaan dimulai pada saat Verkerk bertemu dengan Isah.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR