Penulis
Intisari-Online.com -Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan kepada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ”gundik” atau ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.
Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan concubine, bijwijf, atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara.
Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian.
Maya Sutedja-Liem dalam tulisannya berjudul Menghapus Citra Buruk Njai dalam Karya-Karya Fiksi Berbahasa Melayu (1896-1927), publikasi 2008, menceritakan kisah-kisah para nyai dalam bingkai kolonial Belanda.
Ia juga menyinggung tentang karya-karya sastra Belanda yang kerap mendiskriminasi figur nyai.
"Umumnya dalam sastra kolonial Hindia-Belanda (tentang) nyai, yang ditampilkan berulang-ulang, sering digambarkan sebagai wanita yang tidak setia, yang mengincar harta sang pria, dan yang suka balas dendam terhadap 'majikannya' dengan menggunakan guna-guna, sehingga terbentuk sebuah gambaran stereotipe yang negatif dari nyai" tulisnya.
Pada tahun 1990, Henk M.J Maier menerbitkan tulisannya berjudul Some Genealogical Remarks On The Emergence of Modern Malay Literature, menjelaskan citra negatif yang dilahirkan dari perspektif kompeni, yang kemudian ditafsirkan negatif oleh masyarakat luas.
"Dalam novel-novel karya sastra kolonial, nyai dipergunakan sebagai lambang degenerasi, lambang peruntuhan masyarakat kolonial" tulisnya.
Nyai dianggap tidak beradab dan kerap kali mengalami diskriminasi rasial, dengan anggapan keturunan dari hasil hubungan dengan nyai menghasilkan degenerasi, atau runtuhnya keturunan bangsa Eropa yang luhur.
Pada era VOC berkuasa sejak tahun 1652, hanya para petinggi, pejabat, dan saudagar VOC penting yang diperbolehkan membawa istri ke Hindia-Belanda.
Pembatasan kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dengan dalih bahwa keberadaan para wanita Belanda di Hindia-Belanda akan semakin menyulitkan kondisi keuangan dan perekonomian para pegawai Belanda.
Kebijakan tersebut kemudian berdampak pada dimulainya era nyai di Hindia-Belanda, dimana para pegawai Belanda dapat memilih wanita Jawa untuk dijadikan gundik, sebagai pelayannya di rumah.
Prostitusi di Batavia
MelansirKompas.com, di Batavia, prostitusi sudah dimulai sejak JP Coen membakar Jayakarta dan mendirikan kota baru di atas reruntuhannya.
Penelitian Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) tentang sejarah prostitusi di Jakarta menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi di Jakarta dimulai.
Ridwan Saidi, budayawan, mengatakan, konsentrasi prostitusi pertama di Batavia adalah di kawasan Macao Po, disebut demikian karena pekerja seksnya berasal dari Makao, di sebuah rumah bertingkat di seberang Stasiun Beos.
Mereka didatangkan oleh para germo Portugis dan China untuk menghibur tentara Belanda.
Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC memaparkan, Gubernur Jenderal JP Coen menyadari bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita.
JP Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan, "perawan-perawan Belanda yang sudah mateng kawin."Perawan-perawan itu tak lain adalah untuk karyawan JP Coen di Timur, termasuk Batavia.
Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu gampang merana berada di daerah tropis.
Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.
Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.
Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai sehingga, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda, ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.
(*)