Intisari-Online.com- Elite masyarakat dan para penguasa di banyak peradaban kuno biasanya tak hanya memiliki seorang istri, tapi juga memilikiselir atau gundik untuk beberapa tujuan.
Tujuan memiliki gundik yakni untukmeningkatkan prestise pria melalui kemampuannya untuk menghasilkan anak.
Tak hanya itu, kepemilikan akan gundik jugakesempatan tak terbatas untuk memanjakan hasrat seksual mereka.
Di Tiongkok kuno, pergundikan adalah praktik kompleks,para selir diberi peringkat sesuai dengan tingkat kaisar dengan mereka.
Praktik memiliki selir juga terjadi di peradaban Yunani kuno dan Romawi.
Praktik ini tak terkecuali juga terjadidi era kolonial Hindia Belanda.
Para pejabat dari Belanda terbiasa mengambil selir wanita di Nusantara yang kemudian disebut sebagai nyai.
Melansir Nationalgeographic.grid.id, FX. Domini BB Hera dan Daya Negri Wijaya dalam tulisannya berjudul Terasing dalam Budaya Barat dan Timur: Potret 'Nyai' Hindia Belanda, Abad XVII-XX, publikasi tahun 2014, meyebut bahwa para Nyai sebenarnya memiliki peran positif.
"Meskipun banyak dipandang sebelah mata, di balik segala kesan negatif yang disandangnya, Nyai memiliki peran positif dalam kehidupan bermasyarakat yakni sebagai cultural mediator antara budaya Barat dan Timur," tulis mereka.
Dr. Frances Gouda dalam bukunya berjudul Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, terbitan 1995, menjelaskan sekelumit cerita kehidupan para Nyai.
"Mereka hidup dalam keseharian yang penuh dengan kerja berat, melayani nafsu seksual layaknya wanita murahan, dan beragam penghinaan lainnya," tulisnya.
Di antara berbagai tulisan yang membahas kisah per-nyai-an atau yang lebih sering disebut sebagai concubinat (pergundikan) di Hindia Belanda.
Misalnya kisah Lamira kelahiran Surabaya tahun 1853.
Ia beribu seorang Jawa dan ayahnya dari kalangan Mardijker, para peranakan Portugis yang masih bisa berbicara bahasa Portugis.
Lamira bertemu dengan Johannes, seorang Indo-Eropa yang bekerja sebagai juru sita di Kediri, Jawa Timur.
Johannes lalu menjadikan Lamira sebagai nyai dan hidup layaknya suami-istri.
Mereka dikaruniai empat anak. Pada tahun 1881 Johannes meninggal dunia.
Anak-anak mereka diadopsi oleh keluarga Johannes sehingga mendapat hak seperti orang Eropa.
Lamira kemudian menikah dengan seorang Eropa dan akhirnya pergi ke Belanda.
Ia tutup usia pada usia 105 tahun di Den Haag.
Kisah nyai yang lain adalah kisah Saila yang lahir dari sebuah keluarga miskin di Jawa Barat tahun 1884.
Saila tidak bisa membaca. Ia hanya dapat bicara bahasa Melayu dan paham bahasa Belanda.
Ia bertemu dengan Edward dari Belgia. Tahun 1900, ia dijadikan nyai oleh Edward.
Dari Edward, Saila mendapatkan delapan anak: lima perempuan dan tiga laki-laki.
Edward yang bekerja sebagai sipir penjara mendapat nasib sial.
Ia tewas ketika bekerja. Anak-anak yang masih kecil dititipkan di panti asuhan Vincentius, Batavia.
Sementara anak-anaknya yang lebih tua telah menikah.
Saila pun akhirnya menikah dengan seorang pribumi dan dikaruniai seorang anak.
Pergundikan dan kehidupan Nyai akhirnya berakhir setelah masuknya Jepang pada 1942.
Di era penjajahan Jepang ada praktik perbudakan seks yang lebih kejam yang disebut jugun ianfu.
(*)