Kritik berdatangan untuk pembentukan tiga provinsi baru yang sudah disetujui DPR sejak April 2022 ini.
Pejabat pemerintah telah menggambarkan pembentukan unit-unit administrasi baru ini sebagai upaya mempercepat pembangunan di wilayah tersebut, yang telah lama terlambat dibandingkan pulau-pulau lain.
Namun masalah Papua bukanlah kurangnya pembangunan, melainkan kurangnya keadilan untuk Papua Barat, seperti melansir artikel yang ditulis Aprila Wayar dan Johnny Blades di The Diplomat
Dalam rencana membagi Papua Barat menjadi dua, banyak orang merasakan strategi "akhir" oleh pemerintah Indonesia yang diperkirakan memperburuk konflik jangka panjang di Papua, yang tidak dapat diabaikan oleh negara-negara di kawasan itu.
Rencana provinsi tersebut muncul menjelang masa jabatan kedua dan terakhir Presiden Joko “Jokowi” Widodo, sebuah masa jabatan yang ditandai dengan eskalasi kekerasan antara pejuang Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pro-kemerdekaan dan pasukan keamanan Indonesia.
Jokowi telah memerintahkan operasi militer besar-besaran di pusat kabupaten Nduga, Puncak Jaya, Intan Jaya, Maybrat dan daerah dekat perbatasan dengan Papua Nugini (PNG).
TPNPB adalah sayap bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), atau Gerakan Papua Merdeka, yang dibentuk pada 1960-an oleh para pejuang kemerdekaan Papua Barat.
Mereka menentang Angkatan Darat Indonesia, yang mulai menduduki sebagian Papua Barat setelah Belanda mundur pada tahun 1962, bahkan sebelum Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelesaikan periode pemerintahan yang diamanatkan pada tahun 1963.
Setelah Papua secara resmi bergabung dengan Indonesia dalam referendum PBB tahun 1969 yang dipandang banyak orang Papua sebagai cacat, OPM tumbuh pesat di akhir 1970-an, dengan para pejuang bergabung dengan barisannya di seluruh Papua Barat.
Operasi mereka terutama terdiri dari menyerang patroli Indonesia. Pada tahun 1984, ketika serangan pemberontak Papua Barat memicu pengerahan besar militer Indonesia di dan sekitar ibu kota Jayapura, operasi pembersihan brutal berikutnya memicu eksodus massal sekitar 10.000 pengungsi Papua ke PNG.
Saat itu, ketika ditanya di Jakarta tentang dampak operasi militer di Papua, seorang pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Indonesia mengabaikannya dan menyatakan bahwa pemerintah memperkenalkan televisi berwarna di Papua dan melakukan yang terbaik untuk mempercepat pembangunan di sana.
Konflik terus berlanjut dengan mengorbankan pengungsian massal di dataran tinggi Papua.
KOMENTAR