Lambangkan Kejantanan dari Roh Buaya, Inilah Tradisi Pemotongan Kulit Suku Kaningara di Papua Nugini, Inisiasi dari Remaja Jadi Laki-laki Dewasa, Ritual Mahal Lambangkan Pengeluaran Darah Kelahiran

K. Tatik Wardayati

Editor

Tradisi suku Kaningara Papua Nugini, pemotongan kulit menyerupai kulit buaya.
Tradisi suku Kaningara Papua Nugini, pemotongan kulit menyerupai kulit buaya.

Intisari-Online.com – Orang-orang suku Kaningara di Papua Nugini tinggal di daerah hutan terpencil di pulau itu.

Mereka merupakan komunitas pemburu dan pengumpul, serta bertahan hidup dari sumber daya bumi.

Seperti komunitas lainnya, yang hidup dalam keterasingan, orang suku Kaningara memiliki sejumlah tradisi dan ritual penting sebagai identitas mereka.

Berasal dari keturunan Afrika, banyak dari tradisi mereka yang mencerminkan tradisi Afrika.

Salah satu praktik yang sangat penting, adalah menandai tradisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yaitu tradisi pemotongan kulit, atau skarifikasi.

Tempat-tempat di sepanjang sungai terbesari di Papua Nugini, Sepik, adalah tempat modifikasi tubuh yang paling rumit namun berdarah, dapat ditemukan.

Ritual inisiasi ini diadakan di ‘Rumah Roh’ yaitu salah satu yang paling rumit dan pribadi, karena membutuhkan waktu lama untuk diselesaikan dan dilarang keras bagi wanita.

Anak laki-laki suku Kaningara yang menjalani ritual ini biasanya berusia antara 12-35 tahun.

Ini adalah ritual mahal, maka membutuhkan waktu lama bagi orangtua dan keluarga untuk menabung agar putra mereka dapat menjalani ritual pemotongan.

Kesenjangan usia juga lebar karena ritual ini hanya terjadi setiap 4-5 tahun sekali.

Untuk menjalani ritual ini, mereka tinggal di Rumah Roh selama 1-3 bulan, menerima pelatihan dari para tetua, tentang bagaimana menjadi seorang pria dan mewujudkan identitas jantan.

Mereka diserahkan ke ritual skarifikasi, yang mungkin memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu untuk menyelesaikannya.

Melansir soc384masculinities, setelah jaringan parut selesai, luka anak laki-laki diisi dengan lumpur obat dan herbal untuk membantu penyembuhan bekas luka.

Tempat pemotongan berlangsung menyerupai perang berdarah.

Ini sengaja dilakukan untuk melambangkan kekuatan dan kelangsungan hidup.

Merupakan kepercayaan suku Kaningara bahwa laki-laki harus tinggal di Rumah Roh setelah menjalani ritual inisiasi, karena di sanalah mereka mendiskusikan masalah desa, terikat dengan laki-laki lain, dan akhirnya bersiap untuk perang, jika diperlukan.

Penting juga bagi pria untuk bepergian dalam kelompok dan menjalani ritual skarifikasi dalam kelompok untuk memperkuat ikatan dan hubungan mereka.

Pemotongan kulit dan rasa sakit yang berkepanjangan pada ritual mereka, memiliki makna simbolis bagi orang-orang suku ini.

Bagi laki-laki suku Kaningara, tidak hanya menandakan kekuatan, kejantanan, dan dedikasi terhadap suku, tetapi ini adalah praktik khusus laki-laki yang menekankan pentingnya persaudaraan.

Ritual ini melambangkan pengeluaran darah ibu setelah melahirkan, inilah mengapa ada ratusan sayatan kecil yang dibuat di daerah batang tubuh, untuk mengeluarkan darah dari ibu dan memungkinkan roh kejantanan buaya masuk ke tubuh laki-laki.

Ritual ini juga melambangkan perpisahan pria muda dari ibu mereka, dan mempersiapkan mereka untuk transisi simbolis menjadi ‘sekuat buaya Sepik’.

Ritual ini menekankan pentingnya komunitas ‘berpusat pada laki-laki’ dan melambangkan gagasan bahwa ‘laki-laki datang dari laki-laki lain’.

Menurut mitos Kaningara, awalnya perempuan yang tinggal di Rumah Roh, tetapi laki-laki mencuri hak dan menjadi ‘pembawa laki-laki’.

Ini terbukti dalam kenyataan bahwa wanita tidak diperbolehkan berada di dekat Rumah Roh.

Lalu, bagaimana dengan wanita?

Wanita dilarang keras dekat dengan Rumah Roh karena tempat ini adalah di mana pria pergi untuk menemukan identitas mereka dan berada di antara pria lain.

Perempuan bahkan tidak diperbolehkan ikut dalam ritual pemotongan kulit atau membantu membersihkan bekas luka.

Menurut orang Kaningara, jika seorang wanita memasuki Rumah Roh, maka dia harus dibunuh, begitulah sucinya Rumah Roh.

Saking dilarangnya wanita tidak mendekati Rumah Roh, bahkan mereka tidak diizinkan untuk mendengarkan musik yang dimainkan di Rumah Roh.

Apa pentingnya ritual pemotongan kulit ini?

Ritual ini tidak hanya penting tetapi menarik, karena laki-laki harus menanggung rasa sakit fisik dan mengeluarkan ‘darah kelahiran’ mereka untuk dilihat sebagai laki-laki di masyarakat.

Jika mereka tidak bisa menahan rasa sakit dari luka dan pendarahan, dan mati, maka mereka dikenang sebagai laki-laki yang lemah dan tidak mampu memenuhi peran laki-laki dalam masyarakat.

Ini setara dengan peran laki-laki dalam masyarakat saat ini di mana laki-laki harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan jika tidak, dia dianggap lemah dan tidak mampu mengurus keluarganya.

Praktik ini mungkin tidak sehat, tetapi ketika mereka menjalani modifikasi tubuh, setiap budaya memiliki cara mereka sendiri untuk mengekspresikan upacara dan ritual kedewasaan mereka.

Baca Juga: Mulai dari Jam Digital dan Tutup Botol di Rambut Mereka Hingga Kartu Sim di Telinga Mereka, Suku Dassanach dari Lembah Omo di Ethiopia Ini Ubah Sampah Jadi Perhiasan Cantik dan Tidak Ingin Menjualnya

Baca Juga: Tak Cukup dengan Tangis untuk Ungkapkan Kesedihan dan Duka, Wanita Suku Dani di Papua Punya Tradisi Potong Jari Ketika Orang yang Mereka Cintai Meninggal

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait