Intisari-Online.com – Beberapa pria peserta kontestan di Festival Ka’el Mekan atau Me’en merupakan kelompok etnis minoritas yang tinggal di bagian barat daya Ethiopia dan dibagi menjadi dua subkelompok.
Dua subkelompok itu, yaitu penduduk dataran tinggi disebut suku Tishena yang pekerjaannya adalah pertanian, dan penduduk dataran rendah yang disebut suku Bodi, yang memproduksi daging, susu, telur, dan produk non-makanan seperti kulit, serat, dan wol untuk penggembala.
Penduduk suku Bodi berbicara dalam bahasa Me’en, yang termasuk dalam keluarga kelompok Surmic yang disebut sebagai ‘Nilotic’ di Ethiopia karena mereka adalah bahasa Nilo-Sahara.
Mereka bangga dengan upacara tradisional Ka’el, ketika para bujangan berusaha untuk menjadi yang paling gemuk untuk memenangkan hadiah dan hati wanita yang akan memilih untuk menikahi mereka.
Mereka memuja sapi peliharaan mereka sampai-sampai mereka percaya bahwa mengambil campuran darah sapi dengan susu segar sebagai makanan akan menyehatkan dan membuat mereka gemuk.
Alih-alih membunuh sapi, mereka membuat lubang di salah satu pembuluh darahnya, mengeluarkan darahnya, lalu menutupnya kembali dengan tanah liat.
Campuran darah inilah yang diberikan kepada para pria untuk menggemukkan badan mereka selama tahap persiapan.
Upacara Kae’el ini biasanya diadakan pada awal tahun baru, tepatnya bulan Juni dari penanggalan Masehi, melansir History of Yesterday.
Masing-masing dari 14 klan memilih seorang bujangan yang mereka anggap cukup baik untuk mewakili mereka, dan persiapan dimulai selama enam bulan.
Para pria sebagai kontestan ini tidak diperbolehkan berhubungan intim dan juga dikurung, dilarang terlihat di luar gubuk mereka selama enam bulan persiapan tersebut.
Ada prosedur yang ditetapkan untuk mengambil campuran darah pada mangkuk pertama 2 liter di pagi hari, sisanya kemudian dapat diminum sepanjang hari.
Terkadang beberapa pria muntah setelah meminum 2 liter pertama, karena tampaknya terlalu banyak untuk mereka tenggak.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR