Bawa-bawa Suku Dayak dalam Kasus Video Ariel, Sosiolog UI Ini Pernah 'Diseret' ke Hadapan Majelis Adat Dayak Hingga Dijatuhi Hukuman Ini, Edy Mulyadi Menyusul?

K. Tatik Wardayati

Penulis

Edy Mulyadi, yang dianggap melontarkan 'penghinaan' terhadap suku Dayak.

Intisari-Online.com – Peribahasa ‘Mulutmu harimaumu’ rasanya tepat untuk menggambarkan video yang sedang viral ini.

Pepatah‘mulutmu harimaumu’ bisa diartikan bahwa perkataan bisa menjadi ‘senjata tajam’ sehingga dapat menyakiti orang lain jika tidak dijaga.

Seperti kasus dari pernyataan guru besar UI, Thamrin Amal Tamagola, yang menjadi saksi ahli di perseidangan kasus video mesum Nazril Ilham alias Ariel Peterpan.

Sosiolog tersebut membuat pernyataan dan keterangan, “Di kalangan masyarakat Dayat yang mengganggap bersenggama tanpa ikatan perkawinan sebagai hal biasa’.

Pernyataan itu dianggap melukai perasaan, merendahkan harkat dan martabat, serta pelecehan terhadap Adat istiadat Suku Dayak.

Maka Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Dr. Thamrin Amal Tamagola pun harus menghadiri sidang adat Dayang di Betang Nagnderang, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada Sabtu (22/1/2011).

Dia mengakui kesalahannya, “Saya mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada masyarakat Adat Dayak. Saya juga berjanji mencabut pernyataan penistaan itu.”

Itu dikatakan oleh Thamrin Amal Tamagola saat diminta Ketua Majels Hakim Adat untuk menyampaikan langsung melalui pengeras suara.

Baca Juga: Hukum Adat 'Nahe Biti,' Cara Cerdas Orang Timor Leste Menyelesaikan Konflik dan Membuka Komunikasi dengan Leluhur, Seperti Apa Prosesinya?

Baca Juga: Tak Peduli Sengaja Atau Tidak, Gaji Sebulan Bisa Ludes Kalau Orang Timor Leste Langgar Aturan Ini, Hukum Adat yang Sempat Dilarang saat Masih Jadi Indonesia

Sidang tersebut dihadiri Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Agustin Teras Narang, empat Deputy MADN dari Kalimanan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.

Meski dihadiri ribuan masyarakat, namun sidang berjalan aman dan tertib.

Panitia Pelaksana Sidang Adat Dayak, Ben Brahim S. Bahat, menjelaskan bahwa sidat adat terhadap Thamrin Amal Tamagola itu bertujuan untuk melindungi harkat dan martaba, penegakan hukum Adat Dayak terhadap delegitimasi, demoralisasi, penistaan, maupun penghinaan terhadap masyarakat Dayak.

Menurut Ben, “Penghinaan itu baik dalam pbentuk perbuatan atau pernyataan lisan maupun tertulis oleh individu maupun pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.”

Persidangan yang diberi nama Persidangan Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan Thamrin, dan merupakan pertama kali dilakukan dan sifatnya final dan mengikat.

Menurut Ben, Suku Dayak memandang perkawinan merupakan sebuah nilai yang dijunjung tinggi, sehingga ada normal dan tata cara adat yang mengaturnya.

Sesederhana apa pun bentuk ikatan perkawinan maupun tata cara perkawinan yang dilakukan berdasarkan adat istiadat suatu suku bangsa.

Kemudian, majelis sidang yang diketuai Lewis KDR menjatuhkan putusan yang berisi enam poin kepada Thamrin, melansir dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, yaitu:

Baca Juga: Tepis Stigma Suku Dayak, Peneliti Eropa Ini Berhasil Temui Mereka, Lukiskan Keseharian Salah Satu Suku di Kalimantan yang Katanya Makan Orang Setiap Hari, Benarkah?

Baca Juga: Konon Jadi Kunci Kemenangan Tentara Majapahit Taklukkan Kalimantan, Inilah Wong Kalang yang Terpaksa Hidup Lebih Rendah Daripada Kasta Sudra

Pertama, Thamrin harus meminta maaf kepada masyakarat Dayak yang disampaikan di depan sidang majelis adat.

Kedua, pelanggar adat harus memenuhi singer (denda) dengan menyerahkan lima pikul (setara 500 kilogram) garantung (gong).

Ketiga, menanggung biaya penyelenggaraan acara (sidang adat itu), yakni Rp77.777.700,-.

Keempat, mencabut kesaksian yang disampaikannya di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat.

Kelima, Thamrin diminta memusnahkan hasil penelitiannya soal masyarakat Adat Dayak.

Keenam, putusan sidang adat ini bersifat final dan mengikat.

Selesai masalah penghinaan yang dilakukan oleh Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Dr. Thamrin Amal Tamagola terhadap masyarakat Adat Dayak yang diselesaikan dalam sidang adat, kini muncul pernyataan mantan caleg PKS, Edy Mulyadi yang viral di media sosial.

Dalam video yang viral, Edy Mulyadi mengkritisi pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur, dengan menyebut bahwa lokasi IKN baru itu sebagai ‘tempat jin buang anak, genderuwo, kuntilanak’ dan ada yang menyebut ‘monyet’, diduga sebagai berita bohong dan dianggap menghina masyarakat Kalimantan.

Baca Juga: Konon Mendiami Pedalaman Hutan Kalimantan, Inilah Kelompok Suku Dayak Penjaga Hutan Belantara Kalimantan hingga Dilabeli oleh Pemerintah Indonesia Sebagai Suku Terasing

Baca Juga: Mengerikan! Disambut Pemburu Kepala Suku Dayak Kalimantan, Divisi Perang Australia ‘Antar’ Jepang ke Hutan Borneo saat Perang Dunia 2

Namun, Edy Mulyadi telah menyampaikan permintaan maaf dan mengklarifikasi pernyataan ‘Kalimantan tempat jin buang anak’ yang disampaikan saat menyatakan penolakan atas pemindahan IKN dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim).

Menurut Edy, pernyataan ‘Kalimantan tempat jin buang anak’ itu hanya sebuah istilah untuk menggambarkan tempat yang jauh, demikian klarifikasinya, Senin (24/1/2022) seperti dikutip dari kompas.tv.

Menurutnya, istilah itu sudah biasa dan umum, khususnya di DKI Jakarta.

“Saya minta maaf sedalam-dalamnya kalau itu dianggap salah saya minta maaf, saya minta maaf kalau itu dianggap melukai masyarakat Kalimantan,” ujar Edy.

Dia mengaku tidak ada maksud untuk menghina.

Edy Mulyadi menyampaikan permintaan maaf kepada tokoh dan masyarakat Kalimantan yang disampaikan langsung saat pertemuannya dengan sejumlah tokoh Kalimantan yang dipimpin oleh Dr. H. Muhammad Uhaib As’ad, MSI, Dosen FISIP Universitas Islam Kalimantan di Jakarta.

Permohonan maaf Edy Mulyadi itu pun disambut baik oleh perwakilan Kalimantan yang hadir itu.

Menurut Edy, pernyataan ‘Kalimantan tempat jin buang anak’ itu hanyalah sebuah istilah dan jauh dari niat menghina, karena kalimat itu mengilustrasikan sebuah tempat yang amat jauh dan diibaratkan sebagai tempat jin buang anak, sebuah frasa yang biasa digunakan di Jakarta.

Beruntunglah Edy, tokoh Kalimantan yang hadir berharap kesalahpahaman tersebut selesai dan tidak diperpanjang lagi, mereka juga meminta agar kita fokus menjaga negeri.

Baca Juga: Kehadirannya Jadi yang Pertama Masuki Bumi Borneo, Wanita Eropa Ini Terkesima Melihat Pemburu Kepala Manusia, Suku Dayak dengan Perhiasan Kalung dari Gigi Manusia

Baca Juga: Kerusuhan Suku Dayak dan Madura di Sampit Tahun 2001 Kembali Diceritakan, ini Dia Panglima Burung Tetua Suku Dayak Dalam yang Dikabarkan Menikah dengan Titisan Nyi Roro Kidul

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait