Intisari-Online.com – Di provinsi Thailand utara, seperti Mae Hong Son, tinggal orang Kayan Thailand.
Ini merupakan komunitas etnis minoristas terlantar asal Tibet-Burman, yang awalnya melarikan diri dari perselisihan dan penganiayaan di negara tetanggab
Suku Kayan merupakan salah satu dari sejumlah sub-kelompok orang Red Karen Myanmar, yang juga dikenal sebagai Karenni.
Kelompok Kayan ini juga disebut bahasa sehari-hari dalam bahasa Inggris sebagai ‘orang leher panjang’ untuk cincin leher kuningan yang secara tradisional dikenakan oleh para wanitanya, yang tampak memanjangkan leher.
Selain suku Kayan di Thailand utara, ada juga yang disebut Kayaw, atau ‘orang telinga panjang’, juga berasal dari Myanmar.
Orang Kayan terindentifikasi dengan gulungan leher tradisional mereka, disebut juga menggunakan kata Padaung, sebuah istilah dalam bahasa asli negara bagian Shan di Myanmar.
Namun, banyak dari kelompok yang kini telah bermukim kembali di Thailand utara menganggap bahwa istilah itu merendahkan, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka Kayan.
Bagaimana orang Kayan tiba di Thailand?
Keberadaan orang Kayan di Thailand utara dimulai pada akhir 1980-an, ketika konflik antara tentara Myanmar dan pasukan pemberontak memaksa suku Kayan melarikan diri ke daerah perbatasan Thailand.
Mereka mencari perlindungan di Thailand dan ditempatkan di sejumlah kamp pengungsi.
Di antaranya adalah kamp swasembada yang terbuka bagi wisatawan yang ingin melihat lilitan leher mencolok wanita Kayan dan belajar tentang cara hidup mereka.
Saat ini tiga desa tetap dapat diakses oleh wisatawan, sementara kamp pengungsi utama Karenni tidak, dan perkiraan jumlah orang Kayan di Thailand sekitar 600, dari jumlah populasi dunia sekitar 130.000, melansir theculturetrip.
Sejarah lilitan ‘leher panjang’
Orang Kayan mungkin paling terkenal dan dikenal, karena lilitan kuningan khas yang dikenakan di leher wanita di komunitas tersebut.
Gulungan ini, yang dikenakan oleh wanita Kayan sejak usia lima tahun, tampak meregangkan leher hingga panjang yang tak terbayangkan.
Oleh karena itu, orang Kayan lebih sering disebut sebagai ‘orang leher panjang’.
Namun, sebenarnya tidak ada pertumbuhan atau pemanjangan leher itu sendiri yang terjadi akibat dari pemakanan lilitan ini, tetapi lilitan tersebut tampaknya menyebabkan tulang selangka menjadi cacat, yang berpengaruh pada penampilan yang kita kenal dengan wanita Kayan.
Beberapa wanita Kayan dalam dekade terakhir ini telah memilih untuk berhenti memakai cincin kuningan itu, meski banyak yang terus melakukannya.
Beberapa wanita Kayan sangat ingin menekankan bahwa mereka memakai cincin atas pilihan mereka sendiri, dan mereka melihat ini sebagai ekspresi budaya tradisional Kayan dan sebagai cara untuk mempertahankannya.
Asal usul adat kurang jelas, meski berbagai penjelasan menyebutkan, mulai dari upaya untuk membuat wanita Kayan kurang menarik sebagai cara untuk menghalangi perbudakan mereka oleh suku saingan, hingga upaya yang sama sekali berbeda untuk meningkatkan daya tarik seksual wanita.
Bahkan pada keinginan untuk meniru leher panjang naga, kepercayaan agama tradisional kelompok itu yang menyatakan bahwa orang Kayan adalah keturunannya.
Orang-orang Kayan yang telah lolos dari perselisihan sebelumnya yang mereka hadapi di Myanmar, harus menghadapi tantangan yang berkelanjutan saat tinggal di Thailand.
Karena terbatasnya hak yang diberikan kepada mereka sebagai pengungsi, sering kali ada pembatasan yang ditempatkan pada kemampuan mereka untuk bepergian ke luar desa mereka sendiri.
Anak-anak Kayan tidak hanya tidak memenuhi syarat untuk kewarganegaraan Thailand, tetapi juga sering kali memiliki kesempatan pendidikan yang terbatas.
Maka, salah satu solusi untuk mengatasi masalah orang Kayan selama bertahun-tahun adalah dengan merangkul pariwisata sebagai sarana untuk mendukung diri mereka sendiri.
Sayangnya, popularitas kunjungan wisatawan ke desa-desa terpencil suku Kayan di Thailand utara bukannya tanpa kontroversi.
Beberapa orang melihat kerugian bagi wisatawan yang mengunjungi desa Kayan, dalam beberapa kasus, hanya sedikit uang yang dikeluarkan oleh wisatawan yang masuk ke desa itu.
Namun, hal itu memberikan kesempatan yang sangat dibutuhkan bagi orang Kayan untuk menghasilkan uang dengan menjual kerajinan tangan, serta memastikan pelestarian cara hidup tradisional komunitas mereka dengan membagikannya kepada dunia.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari