Intisari-Online.com – Lempeng bibir atau piring bibir atau lip plate atau pelat bibir, sebagian besar digunakan oleh Suku Mursi, Sara, dan Suma di Ethiopia.
Selain Ethiopia, ada negara lain yang menggunakan tradisi lempeng bibir ini juga menonjol.
Para arkeolog menemukan bukti adanya wanita yang menggunakan lempeng bibir dan labret di Sudan (8700 SM), Amerika Selatan (1500 SM), dan Ekuador (500 SM).
Ketika seorang wanita mencapai usia 15016 tahun, maka wanita lain dari suku yang sama akan memotong bibir atasnya dan memasukkan pelat kayu ke dalamnya.
Seiring berjalannya waktu, pelat yang lebih besar ditambahkan ke bibir yang sudah diregangkan.
Piring atau pelat yang berbeda dapat ditukar saat bibir membentang semakin lebar.
Meskipun tidak wajib memakai pelat bibir setiap saat, namun umum bila Anda melihat wanita berjalan-jalan dengan bibir bawah yang longgar menjuntai bebas.
Ada banyak spekulasi bagaimana asal muasal pelat bibir itu, tetapi satu kepercayaan umum bahwa itu dimulai karena pria dari beberapa suku di Ethiopia ingin wanita mereka terlihat tidak menarik bagi pria asing selama masa perbudakan.
Oleh karena itu, itu bisa dianggap sebagai respons terhadap kolonialisme.
Meskipun peradaban semakin maju di seluruh dunia saat ini, namun tradisi pelat bibir ini terus ada.
Bagi orang luar, penggunaan piring bibir terlihat seperti mutilasi kulit, tetapi penggunanya secara tradisional melihatnya dari pandangan yang berbeda.
Mereka melihatnya sebagai bentuk ekspresi dan seni.
Lalu, terbuat dari apakah pelat bibir atau piring bibir itu?
Pelat bibir juga disebut sebagai cakram atau sumbat bibir.
Ini biasanya terbuat dari kayu atau tanah liat dan berukuran sekitar 4-5 sentimeter.
Agar pas pada bibir, maka dua hingga empat gigi dicabut dari mulut.
Piring keramik pada awalnya ditempatkan setelah bibir dipotong dan ketika sembuh, piringan yang sedikit lebih besar dipasang di bibir.
Dalam komunitas di mana kebiasaan piring bibir ini dipraktikkan, setiap gadis yang mencapai usia pubertas akan dipotong bibirnya oleh salah satu anggota perempuan sukunya dan sebuah kayu kecil kemudian ditempatkan di bibirnya.
Piring bibir dapat dilepas ketika ada kebutuhan untuk membersihkan atau menggantinya, melansir History of Yesterday.
Pelat atau piring bibir ini umumnya dianggap sebagai ‘ritus peralihan’ dari masa remaja ke masa dewasa.
Menurut tradisi, pelat bibir adalah bukti kesuburan setiap wanita dan bukti bahwa dia siap untuk menikah.
Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa gadis tersebut telah mencapai usia menikah dan siap menjadi seorang istri.
Selain dari pernikahan, kecantikan seorang wanita jua ditentukan oleh seberapa besar bibirnya.
Keyakinannya adalah bahwa piring bibir ini merupakan ornamen budaya yang melambangkan kekuatan dan harga diri gadis itu, karena ini juga dilihat sebagai tanda keberanian dan ketekunan.
Tingginya harga diri yang menempel di bibir karena dipandang sebagai suatu kebanggaan.
Untuk membuatnya lebih cantik, bahkan beberapa wanita mengecat pelat bibir mereka.
Penggunaan piring bibir juga menjadi sumber pembeda, terutama bagi suku-suku yang menggunakannya, untuk membedakan mereka dari suku-suku lain yang ada.
Sebagai simbol kesuburan dan kelayakan untuk menikah, piring bibir digunakan pada acara-acara penting seperti pernikahan dan kompetisi menari.
Wanita yang sudah menikah juga diharapkan untuk memasukkan piring mereka saat melayani suami mereka.
Meskipun diakui sebagai tradisi yang aneh, tampaknya cukup jelas bahwa wanita yagn memakai pelat bibir tampak tidak nyaman.
Tetapi, mereka tetap harus melakukannya karena tradisi mereka menuntut demikian.
Pada tahap awal, banyak wanita yang menanggung rasa sakit selama latihan menusuk dan memotong, tepat sebelum pelat bibir diperbaiki,
Tetapi, beberapa wanita bahkan telah membawa piring begitu lama hingga entah apakah menjadi beban bagi mereka atau tidak.
Ada juga risiko infeksi, ketika kondisi sanitasi yang ideal tidak terpenuhi selama proses pemasangan pelat bibir.
Tentunya, makan, minum, dan tidur tidak mudah bagi para wanita ini, karena mereka terus-menerus harus mengeluarkan piring bibir mereka.
Namun sekarang, anak perempuan dapat memutuskan apakah mereka ingin memakai piring bibir ini atau tidak.
Setiap wanita yang menolak memakai pelat bibir dianggap malas dan tidak pantas mendapatkan mahar yang besar.
Dia dianggap sebagai wanita muda yang tidak patuh, dan dianggap telah menolak menghormati tradisi.
Pada beberapa kasus, penolakan menggunakan piring bibir ini menyebabkan pembayaran mahar yang rendah.
Meskipun penggunaannya terus berlanjut, namun tidak semua orang percaya bahwa penggunaan piring bibir diperkenalkan untuk menonjolkan kecantikan.
Rupanya terjadi pertentangan pendapat yang tidak pernah berakhir, bahwa praktik pemotongan dan peregangan bibir bawah ini sebagai cara dengan sengaja menjelek-jelekkan wanita suku sehingga mereka terlihat sangat tidak menarik bagi para pedagang budak.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari