Intisari-Online.com – Ketika itu bulan Januari 2012, ratusan orang Lamaholot atau lebih dikenal dengan sebutan ‘Solor Watan Lema’, memadati Gelanggang Olah Raya Flobamora Kupang.
Mereka hendak menghadiri perayaan Natal bersama Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Wakilnya Esthon L. Foenay.
Datang dari Flores Timur darata, Pulau Adonara, Lembata, Solor dan Alor, warga Solor Watan Lema merupakan turunan Sina-Jawa-Malaka, dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.
Latar belakang agama mereka, yaitu Katolik, Kristen Protestan, dan Islam, dan mereka menyatu dalam acara Natal bersama itu.
Terdapat tiga orang pemimpin umat yang didaulat untuk memberikan renungan Natal serta toleransi kehidupan umat beragama dan antaraagama di NTT, yaitu Romo Kanis Pen dari unsur Katolik, Pendeta E. Yahya R. Luakusa dari unsur Kristen Protestan, dan KH Saleh Orang dari unsur Islam
Bukan hal yang baru dan luar biasa, ketika KH Saleh Orang tampil dalam acara Natal bersama orang Lamaholot itu, karena mereka menjunjung tinggi nilai-nilai budaya serta toleransi antarumat beragama dan antaragama di lingkungan Lamaholot.
Dr. Chris Boro Tokan SH, MH, antropolog sosial mengatakan, bahwa asal usul turunan orang Lamaholot merupakan pengaruh Hindu-Budda dari India Belakang yang diikuti pengaruh Islam dari Gujarat dan Persia dengan arus aliran persinggahan dari India ke Malaka serta dari China ke Muangthai, kemudian bertemu di pusarana nusantara dengan persinggahan di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Maka pengaruh budaya tersebut kemudian mewariskan puing-puing kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera, candi Borobudur dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, serta Kerajaan Kutai di Pulau Kalimantan.
Dari sana arus perubahan bergerak masuk ke Kepulauan Timor, termasuk Kepulauan Solor sebagai wilayah Lamaholot atau yang sering disebut ‘Solor Watan Lema’.
Boro Tokan juga mengatakan bahwa arus tradisional itu membawa babak perubahan sosial di Lamaholot, giliran arus religius mengisi babak baru Lamaholot melalui imperialisme bangsa Portugis yang menularkan agama nasrani (Katolik) di Lamaholot.
Sedangkan masuknya muslim di Lamaholot disinyalir kuat sebagai perpindahan arus konflik dari Ternate dan Tidore (Maluku) antara Kesultanan Ternate dan Tidore (Muslim), meski sebelumnya Islam Malaka telah masuk lebih dahulu melalui arus Sina-Jawa-Malaka.
“Dari sinilah imperialisme Portugis dan Belanda membagi kekuasaan di Kepulauan NTT. Portugis berkuasa di Timor Timur dan sebagian wilayah Timor bagian barat NTT seperti Belu dan Timor Tengah Utara serta Pulau Flores dan Kepulauan Solor, sedang Belanda berkuasa di Timor Barat serta Sumba dan Rote,” katanya.
Tambahnya lagi, nilai religius dari nasrani dan muslim telah membentuk keyakinan generasi baru Lamaholot yang tidak dapat menghilangkan warisan keyakinan generasi primitif Lamaholot.
Yang mengimplementasikan keyakinan itu dengan sebuah ‘hulen baat tonga belolo, rera wulan tanah ekan’ (yakin akan pencipta langit dan bumi) dan keyakinan generasi tradisional Lamaholot tentang lewotanah (kampung halaman).
Menurut Boro Tokan, manusia Lamaholot dengan pola pikir primitif dapat tertelusuri dalam sejarah oral asal usul pemuda Patigolo Arakian di Gunung Ile Mandiri dengan istrinya Watowele, seorang putri titisan dari Ile Mandiri.
Juga dapat ditelusuri melalui sejarah oral pemuda Kelake Ado Pehan dengan istrinya Kwae Sode Boleng, seorang putri titisan Ile Boleng di Pulau Adonara serta pemuda Uiwe Kole dengan seorang putri yang merupakan jelmaan alam dari ubi hutan.
Lamaholot dari tahapan primitif ke tahapan tradisional ditandai dengan adanya Kerajaan Lewo Nama yang dipimpin oleh turunan dari Patigolo Arakian.
Kerajaan Molo Gong berdiri di bagian timur laut Pulau Adonara, dan di sebelah selatan barat daya pulau itu berdirilah Kerajana Wotan Ulu Mado.
Sementara di bagian tengah Pulau Adonara berdirilah Kerajaan Libu Kliha dan di selatan berdirilah Kerajaan Lamahala, Terong, dan Kerajaan Lian Lolon, yang merupakan cikal bakal Kerajaan Adonara.
Ada juga Kerajaan Awo Lolon di Pulau Pasir dekat Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata di Pulau Lembata serta Kerajaan Lamakera dan Lohayong di Pulau Solor.
Nilai magis kehidupan yang diyakini manusia primitif Lamaholot saat itu amat mencengangkan, yaitu melalui keyakinan holistik yang menyatukan alam semesta dengan manusia.
"Sang pencipta, alam semesta dan manusia sebagai satu kesatuan total yang tidak dapat dipisah-lepaskan melalui ketaatan manusia dalam keyakinan Lamaholot yang disebut "hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan". Keunggulan manusia primitif Lamaholot, dapat menyatukan jagat dalam mengarungi sebuah misi perjalanan yang jauh dalam bahasa setempat disebut `bua buku tanah`," kata Boro Tokan. Menurut Boro Tokan, dari tahapan primitif ke tahapan tradisional itulah mengalir paham Sina Jawa yang disinyalir membawa masuk ajaran dan keyakinan Hindu-Buddha dalam proses membentuk keyakinan tradisional orang Lamaholot sampai sekarang.
Maka tidak heran jika dalam renungan Natalnya, KH Saleh Orang mengajak semua umat beragama di Indonesia untuk belajar tentang tradisi kerukunan umat beragama dan antaragama orang Lamaholot di NTT.
“NTT bukan Nasib Tidak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong seperti yang dianekdotkan banyak orang, tetapi NTT adalah Nusa Tetap Tenteram, karena semua orang NTT sangat menghormati dan menghargai adanya perbedaan dan aliran kepercayaan seperti yang ditradisikan orang Lamaholot ini,” katanya.
Di lingkungan Lamaholot, saat perayaan Natal atau Paskah, umat muslim selalu bertindak sebagai panitia Natal bersama, yang menyiapkan segala sesuatunya untuk saudara-saudara dari Kristen usai gereja.
Ketika tiba Hari Raya Idul Fitri, maka umat kristianilah yang bertindak sebagai panitia halalbihalal untuk saling bersalam-salaman dan memaafkan satu sama lain, dengan duduk bersama, minum bersama, makan bersama, dan setelah itu bubar bersama-sama.
Tradisi seperti itu sudah berlangsung lama dan tetap dipertahankan oleh orang Lamaholot sampai detik ini.
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya, mengatakanhak dan tanggung jawab sebagai warga negaralah yang membentuk kesadaran berdemokrasi, HAM, dan penghormatan terhadap pluralitas.
Menurutnya, kondisi ini berbeda dengan perjalanan banyak negara Eropa, sejak awal nasionalisme Indonesia dibangun atas rantai keterkaitan gugus entitas kultural yang plural dalam etnis, ras, agama, dan golongan.
Pluralisme telah disadari oleh para pendiri republik tidak saja sebagai hak dari tiap-tiap orang yang mengaku menjadi bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, dalam sejarahnya tiap bagian dari bangsa ini telah berkorban, memberi, dan beperan dalam perjuangan membentuk Indonesia. (Laurensius Molan)
Baca Juga: Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Demak pada Akhir Abad ke-15
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari