Advertorial
Intisari-Online.com – Noaulu atau Noahatan atau Naulu, berasal dari kata ‘noa’, merupakan nama sungai serta ‘hatan’ yang diartikan sebagai kepala sungai (hulu).
Bisa diartikan bahwa Noahatan atau Noaulu adalah orang-orang yang mendiami hulu sungai Noa.
Mereka adalah suku yang terdapat di Desa Sepa, bagian selatan-tengah Pulau Seram, Maluku, yang kebanyakan datang dari Maluku Utara tepatnya pulau Halmahera.
Pasca perang hotebanggoi mereka memilih migrasi ke wilayah selatan pulau Seram dan berdiam di hulu sungai Noa petuanan desa Sepa, kecamatan Amahai.
Di Seram bagian utara terdapat sejenis suku yang seperti ini disebut Masyarakat Huaulu, yang menghuni dua desa di pantai utara Pulau Seram dan suku Noaulu hanya ada di desa Sepa di pantai selatan.
Ciri kas dari suku Noaulu ini adalah yang kaum pria mengenakan Nahatari atau kaeng berang, yaitu kain merah yang diikatkan di kepala.
Kain berwarna merah (kaeng berang) yang diikatkan di kepala ini diberikan kepada lelaki yang sudah dianggap dewasa dalam sebuah ritual yang disebut pataheri, atau juga disebut upacara cidaku.
Mereka yang mengikuti ritual pataheri juga wajib menggunakan cidaku yaitu cawat khas Noaulu.
Kain merah pengikat kepala dan cawat yang dikenakan ketika ritual dilakukan tidak hanya semata bersifat duniawi tetapi juga bersifat rohaniah.
Ketika berinteraksi dengan masyarakat luar, orang Noaulu selalu mengedepankan perasaan damai, mereka memiliki prinsip selama mereka berbuat baik maka tidak ada hal buruk yang akan mendatangi mereka.
Selain itu mereka juga memiliki etika lain seperti tidak boleh mencuri, tidak boleh menyapa dengan panggilan yang kurang pantas.
Jika ada pelanggaran adat dalam komunikasi sehari-hari, maka akan diberikan sanksi yang disebut dengan Pina.
Pada masa lalu, pelanggaran adat dilakukan dengan memotong kepala atau mengayau seperti masyarakat Dayak di Kalimantan, namun sejak tahun 1970-an mereka tidak melakukannya lagi setelah dilakukan sosialisasi secara terus-menerus oleh pemerintah daerah setempat.
Semua upacara adat di masa lalu yang mengharuskan memotong kepala, sudah diganti dengan hewan kuskus.
Meskipun modernisasi menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan adat mereka, tetapi suku Noaulu tidak lantas meninggalkan ritual-ritual yang sakral.
Kalau tadi ritual Pataheri adalah ritual menuju dewasa bagi kaum pria, maka ritual Pinamou adalah diperuntukkan kaum perempuan menuju kedewasaan yang dilakukan ketik amereka mendapatkan menstruasi pertama.
Ritual ini adalah mengasingkan mereka dari keluarga dan masyarakat, karena darah menstruasi dianggap tidak baik bagi lingkungan adat, sehingga mereka harus diasingkan ke posune selama sebelas hari.
Posune merupakan sebuah rumah kecil yang terbuat dari daun rumbia berukuran 2x2 meter dengan tinggi 1,5 meter, terletak di bagian belakang rumah atau di pinggiran kampung, dan selama di tempat itu, sang gadis hanya dilayani oleh ibu dan saudara perempuannya.
Gadis Noaulu yang sedang menjalani ritual Pinamou di posune hanya dibekali dengan bambu untuk tempat tidur, kain sarung, piring yang dibuat dari daun sagu, dan batu tungku untuk memasak.
Selama di tempat itu, mereka tidak boleh makan makanan yang berkuah, makanan mereka harus kering, dan tidak boleh keluar dari posune meski hanya ke rumah orangtuanya.
Bila selesai masa Pinamou, maka pada gadis itu akan dilakukan upacara adat dan berkeliling kampung untuk menunjukkan bahwa dia sudah dewasa dan siap untuk menikah.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari