Saat saya tiba di Brunei, saya menemukan bahwa pangeran itu menyelenggarakan pesta mewah setiap malam, di sebuah istana di mana ada lukisan Picasso di kamar-kamar mandi dan karpet tenun yang diberi emas sungguhan.
Pada pesta-pesta itu ada minuman (beralkohol yang tidak legal di depan umum), tarian, karaoke yang cukup lucu, dan, yang paling penting, para perempuan cantik sekitar 30 hingga 40 orang dari seluruh dunia, yang menjadi semacam harem.
Pangeran itu gagah, pintar dan bahkan menawan pada saat itu. Saya menghabiskan tahun berikutnya di sana dan menjadi pacarnya.
Untuk sementara waktu, itu menjadi sebuah petualangan yang glamor dan menarik.
Namun itu juga membuat kesepian dan demoralisasi, dan penuh dengan penghinaan tingkat rendah, termasuk diberikan kepada saudara sang pangeran sebagai hadiah.
Walau saya bukan seorang tahanan, saya tidak bebas untuk datang dan pergi sesuka saya.
Pada akhir masa saya di sana, saya merasa 10 tahun lebih tua dan masih tidak cukup bijak.
Saya butuh waktu lama untuk kembali bangkit, meski saya akhirnya menemukan jalan saya.
Perjuangan saya adalah perjuangan batin dan itu merupakan urusan saya. Dalam konteks ini, semua itu membebaskan.
Rajam dipraktekkan atau disahkan oleh hukum di 15 negara dewasa ini.
Praktek itu secara tidak proporsional diterapkan sebagai hukuman bagi kaum perempuan, sering sebagai hukuman untuk perzinahan. Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, menganggap hukuman itu kejam, tidak biasa dan merupakan penyiksaan.
Menurut organisasi internasional Women Living Under Muslim Law, rajam "merupakan salah satu bentuk yang paling brutal dari kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan untuk mengontrol dan menghukum seksualitas mereka dan sejumlah kebebasan dasar."
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR