Advertorial
Intisari-Online.com - Kini mungkin kebanyakan orang Indonesia mengetahui istilah 'Nyai' yang merujuk pada sebutan untuk wanita dewasa, khususnya yang digunakan di Jawa Barat.
Namun, istilah 'Nyai' di zaman kolonial Belanda memiliki konotasi lain.
Saat itu, istilah 'Nyai' digunakan untuk menyebut seorang gundik dari orang-orang Eropa di wilayah pendudukan VOC.
Seorang Nyai berada dalam posisi yang tinggi secara ekonomi, tetapi rendah secara moral.
Dalam status sosial, kehadirannya sering dianggap sebagai perempuan murahan, karena tidak bisa mendapatkan status "istri" meski banyak diantara mereka telah memiliki anak dari hasil hubungan dengan majikannya.
Reggie Bay menceritakan tentang 'Nyai' ini dalam bukunya berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.
Gundik sendiri bisa disebut juga istri tak resmi, perempuan simpanan, atau perempuan yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi.
Seorang wanita pribumi setelah menjadi Nyai, setiap hari akan selalu khawatir menunggu giliran dibuang. Bagaimana hal itu terjadi?
Dijelaskan Reggie Bay, bahwa yang sering terjadi setelah para Nyai melahirkan adalah mereka diperintahkan pergi ("dikirim kembali ke kampung") guna memberi tempat pada perempuan Eropa.
Ironisnya, para Nyai bisa saja dipisahkan dengan anak yang mereka lahirkan sendiri.
Mereka yang lebih memilih cinta dari pada pundi-pundi uang lelaki Eropa, maka akan mendapat siksaan.
Mereka akan dijemur di bawah terik matahari, agar tidak pingsan, sementara daerah kemaluannya dilumuri cabai spanyol yang telah ditumbuk.
Disebut bahwa kemunculan Nyai dimulai ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar abad 16.
Terbatasnya perempuan Eropa yang ada saat itu membuat para pegawai VOC dan penduduk laki-laki Eropa terpaksa mencari pasangan dari perempuan-perempuan lokal (pribumi) yang tidak hanya mengurus rumah tangga tapi juga tidur dengannya. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Nyai.
Pergundikan tentu saja tidak `direstui' oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga tidak banyak dokumen yang menceritakan masalah ini.
Meski begitu, pergundikan tetap bertahan kuat selama masa Kolonial.
Baca Juga: Peran Indonesia dalam Perdamaian Dunia, Melalui Organisasi Berikut!
Kisah Tragis Para Nyai Era Belanda Jadi Inspirasi Film
Kisah para 'Nyai' mungkin ditutup-tutupi setengah mati oleh VOC agar kisahnya tidak sampai ke negeri asal mereka, Belanda.
Tetapi, di Indonesia, beberapa sosok Nyai bahkan menjadi kisah abadi yang kerap menginspirasi cerita atau bahkan film.
Sebut saja sosok Nyai Dasima dan Mariam atau yang lebih dikenal dengan Si Manis Jembatan Ancol.
Kisah mereka menjadimenjadi inspirasi film 'Si Manis Jembatan Ancol' yang rilis pada 1993.
Kisah Nyai Dasima, merupakan sebuah kisah populer di kalangan warga Betawi.
Diceritakan bahwa dia adalah perempuan asal Ciseeng, Bogor, yang hidup di antara tahun 1805-1830 dan menjadi gundik meneer Edward William.
Perjalanan hidup dan cinta Dasima pun direkam dalam buku yang ditulis oleh SM Ardan.
Edward ternyata hanya memerlukan Dasima di kamar saja, maka ketika kemudian muncul seorang pria, Samiun, yang bersedia menikahinya, Dasima pun meninggalkan Edward.
Namun, Samiun juga ternyata hanya ingin menggerogoti harta Dasima. Nyawa Dasima habis di tangan Bang Puasa atas perintah Samiun. Kemudian mayatnya ditemukan di sekitar kali di Kwitang.
Serupa dengan kisah tragis Nyai Dasima, adalah kisah Nyai Mariam.
Menurut cerita, dia adalah gundik sinyo Belanda, John.
Cinta sembunyi-sembunyi antara Mariam dan John akhirnya terputus dengan adanya Husin.
Husin, tukang sado, semula hanya menolong Mariam dengan berpura-pura mengawini Mariam agar hubungan dengan lelaki bule tak terendus sang ayah.
Namun, pernikahan itu ternyata malah membakar api cemburu di hati John.
Tak tanggung-tanggung, Husin dan Mariam pun ditangkap serdadu kompeni.
Kemudian, mayat Mariam ditemukan di sekitar jembatan Ancol.
(*)