Selat Hormuz mempunyai peran penting terhadap pasokan dan perdagangan minyak dunia. Jika Iran menutupnya -- akibat dari serangan AS ke beberapa situs nuklir Iran -- imbas ekonominya bisa fatal.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Selat Hormuz jadi perbincangan hangat seiring dengan memanasnya situasi di Timur Tengah. Kita tahu, Iran dan Israel tengah berperang, lalu Amerika ikut-ikutan dengan menyerang beberapa situs nuklir Iran, dan Iran pun meresponnya.
Salah satu respon yang dikeluarkan oleh Iran adalah rencananya menutup Selat Hormuz. Mengapa penutupan selat ini akan menimbulkan malapetaka, terutama malapetaka ekonomi?
Sejarah Selat Hormuz
Dikutip dari Kompas.com, parlemen Iran telah menyetujui untuk menutup Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran, pada Minggu (22/6/2025). Sebagaimana disinggung di awal, keputusan penutupan ini menyusul serangan Amerika Serikat terhadap sejumlah fasilitas nuklir mereka.
"Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup," kata Mayor Jenderal Esmaeli Kowsari, anggota Komisi Keamanan Nasional di Parlemen Iran, sebagaimana disiarkan televisi Iran Press TV.
Dia menegaskan bahwa keputusan terakhir mengenai hal tersebut akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan Tertinggi Nasional, merujuk pada otoritas keamanan tertinggi di Iran. Keputusan ini memicu kekhawatiran berbagai pihak, terkait jalur logistik internasional, utamanya minyak dunia.
Selat Hormuz adalah selat yang terletak di antara Oman dan Iran. Ia terletak pada sebuah tonjolan yang memanjang yang hampir memisahkan Teluk Persia dan Teluk Oman.
Selat Hormuz sudah menjadi jalur strategis sejak beberapa abad yang lalu. Ia menghubungkan belahan Eropa dan Asia oleh orang-orang. Saat penjelajahan bangsa Eropa dilakukan pada abad ke-13 hingga abad 16, Selat Hormuz jadi salah satu lalu lintas penting yang mereka lalui.
Marco Polo, penjelajah dari Italia, pernah melalui Selat Hormuz dan dua kali singgah di Pulau Hormuz, kubah garam yang tercakup dalam wilayah pesisir Iran. Terakhir dia berada di sana pada 1292 setelah kembali dari Cina. Dari situ, Marco Polo kemudian melanjutkan perjalanan ke Venesia lewat jalur darat.
Tak hanya Marco Polo, pada abad ke-16 pelaut Portugis Alfonso de Albuquerque juga pernah berlayar di Selat Hormuz dan merebut Pulau Hormuz pada tahun 1515. Di situ dia mendirikan sebuah benteng di sana untuk mengamankan lalu lintas perdagangan laut dari Timur ke Portugis -- Albuquerque kemudian mengulangi formula serupa ketika berdagang di Selat Malaka, Goa, dan Afrika bagian selatan.
Dengan mendirikan benteng, Albuquerque tahu betapa pentingnya peran Selat Hormuz bagi lalu lintas perdagangan dunia. Dari dulu hingga kini.
Kini, Selat Hormuz menjadi akses lalu lintas kapal-kapal tanker pengangkut minyak mentah untuk memenuhi konsumsi minyak global. Selat Hormuz merupakan jalur yang mengarah keluar dari Teluk Persia. Kapal-kapal tanker pembawa minyak dari sejumlah pelabuhan di Teluk Persia dipastikan selalu melewati selat ini.
Ada tiga negera yang menguasai selat ini, mereka adalah Iran, Oman, dan Uni Emirat Arab (UEA). Iran menguasai pantai utara selat, sementara Oman dan UEA memiliki hak atas pantai selatan.
Dan jangan salah, Selat Hormuz adalah satu-satunya jalur tercepat ekspor minyak globar dari Timur Tengah. Karena itulah jalur ini begitu sibuk melayani kebutuhan impor minyak mentah dunia, baik dari negara-negara Barat maupun Asia.
Menurut Aljazeera, sekitar 20 persen konsumsi minyak dunia disuplai lewat Selat Hormuz. Keberadaan jalur sempit di Selat Hormuz membuat kapal-kapal yang berlayar di Selat Hormuz rentan oleh serangan atau penutupan selat.
Peran sentralnya itu membuat Selat Hormuz menjadi medan pertikaian berbagai kepentingan. Dan itu sangat berdampak terhadap distribusi minyak dunia.
Ketika Perang Teluk antara Iran dan Irak pada 1980-an pecah, Selat Hormuz juga dikhawatirkan bakal terdampak. Sebab, kedua negara itu juga turut menargetkan kapal-kapal komersial. Syukurlah, ketika itu Selat Hormuz tidak sepenuhnya ditutup.
Pada 2010, sebuah kapal tanker pengangkut minyak dari Jepang diserang oleh kelompok bersenjata yang terhubung dengan Al Qaeda. Pada 2019, sebuah serangan menargetkan empat kapal di Selat Hormuz. Insiden itu terjadi di tengah ketegangan Amerika Serikat dan Iran pada periode pertama Donald Trump sebagai presiden.
Di bulan Juni tahun yang sama, serangan terhadap dua kapal tanker minyak juga terjadi di Teluk Oman. Meski secara langsung tidak terjadi di Selat Hormuz, hal itu tetap menimbulkan kekhawatiran atas keamanan jalur lalu lintas di Selat Hormuz. Pada 2025, eskalasi konflik antara Iran dengan Israel dan AS sedang meningkat. Harga minyak dunia diprediksi dapat meroket sebagai dampak Selat Hormuz ditutup.
Dampak penutupan Selat Hormuz
Penutupan Selat Hormuz akan berdampak besar secara global, terutama terhadap ekonomi dan keamanan. Jika Selat Hormuz ditutup, pasokan minyak dan gas global akan terganggu dan itu akan memicu lonjakan harga energi yang bisa melebihi 100 hingga 120 dollar AS per barel.
Hal ini akan menyebabkan inflasi, kekacauan industri, dan kenaikan biaya hidup di berbagai negara, terutama yang bergantung pada impor energi, khususnya AS, Eropa, dan sebagian Asia.
Tak hanya itu, penutupan jalur juga akan menghambat rantai pasok global, menaikkan premi asuransi kapal, serta meningkatkan biaya logistik dan produksi. Dampaknya bisa mengguncang pasar keuangan dunia, menyebabkan volatilitas tinggi dan potensi kejatuhan bursa saham, terutama di negara-negara pengimpor minyak.
Secara geopolitik, penutupan selat berisiko memicu konflik militer yang melibatkan negara-negara besar seperti AS, negara-negara Teluk, dan sekutu Eropa, termasuk melalui NATO.
Sementara bagi negara-negara Teluk sendiri, penutupan selat akan langsung memukul sumber utama pendapatan mereka dari ekspor minyak dan gas. Penutupan Selat Hormuz akan paling berdampak pada negara-negara pengirim dan penerima utama minyak mentah melalui jalur ini.
Menurut Vortexa, Arab Saudi menjadi negara eksportir terbesar dengan sekitar enam juta barel minyak mentah per hari dikirim lewat selat tersebut. Sementara importir utama minyak mentah yang akan terdampak meliputi China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Dari sisi kepemilikan kapal, menurut laporan Iloydslist, kapal-kapal milik Yunani, Jepang, dan China mendominasi pelayaran di kawasan ini pada kuartal pertama 2025. Sehingga mereka termasuk yang paling terdampak.
Tak hanya itu, kapal berbendera Panama, Liberia, dan Kepulauan Marshall juga tercatat paling banyak melintasi Selat Hormuz. Amerika sendiri mengimpor sekitar 700.000 barel minyak mentah dan kondensat per hari melalui selat ini, atau sekitar 11 persen dari total impornya dan 3 persen dari konsumsi bensin nasional, menurut Badan Informasi Energi AS (EIA).
Sementara itu, Eropa menerima kurang dari 1 juta barel minyak per hari dari jalur ini. Secara keseluruhan, negara-negara Arab dan Asia diperkirakan akan mengalami dampak ekonomi yang lebih besar dibandingkan AS dan Eropa jika Selat Hormuz ditutup. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa sejumlah negara Asia masih menjaga hubungan baik dengan Iran, sementara AS dan Eropa secara politik cenderung mendukung Israel dalam konflik yang sedang berlangsung.
Dampaknya bagi Indonesia
Indonesia juga akan terkena dampaknya jika Iran menurut Teluk Hermuz, begitu kata anggota Komisi XI DPR Bertu Merlas. "Teluk ini merupakan jalur utama raja-raja minyak dan gas dunia seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Irak dan Kuwait dalam perdagangan minyak. Jika ini ditutup pasti akan memicu gejolak ekonomi luar biasa," ujar Bertu, dilansir Kompas.com.
Dia bilang bahwa saat ini harga minyak dunia sudah menembus 80 dollar AS per barelnya. Sedangkan pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar 26,7 triliun untuk subsidi BBM. Karenanya, Bertu meminta pemerintah mengantisipasi beban anggaran yang ditimbulkan akibat naiknya harga minyak dunia.
"Kenaikan harga minyak dunia sudah pasti akan menambah beban berat APBN kita, terutama untuk pos subsidi BBM. Kami berharap pemerintah segera melakukan langkah antisipasi agar dampak perang Timur Tengah tidak kian melambatkan pertumbuhan ekonomi yang memang sudah melambat akhir-akhir ini," ujar Bertu.
Menurut Dina Sulaeman, analis geopolitik Universitas Padjajaran, sebagaimana dilansir Kompas.com, penutupan Selat Hormuz bakal berdampak pada kenaikan harga barang di Indonesia. "Kalau (Selat Hormuz) benar-benar ditutup, ya dampaknya pasti besar dari sisi ekonomi. Dan semua akan kena termasuk kita Indonesia, karena ketika harga minyak naik, harga gas naik, ya pastilah merembet ke mana-mana," ujar Dina.
Jika harga-harga naik, daya beli masyarakat akan menurun. Jika sudah begitu, pertumbuhan ekonomi akan melambat. "Ya, harga-harga semuanya juga akan naik dan perekonomian kita di Indonesia akan semakin sulit," ujar Dina.