"Siap, Pak?" tanya Wade.
Kepala penjara mengangguk dan Wade melepaskan ganjal dan alat pengunci pengungkil. Pintu jebakan menganga dan dua kantong pasir terperosok ke dalamnya.
"Mulus?" tanya kepala penjara.
"Mulus," jawab Wade.
Kami keluar dan pintu kamar eksekusi dikunci. Kantong pasir dibiarkan tergantung untuk menyempatkan tali molor. Kemudian Wade minta pengawal meninggalkan kami sebentar di kamar kami. la menjelaskan bahwa si buruh tambang pernah mencoba bunuh diri, sehingga lehemya luka. Setelah sembuh, lehernya teleng. Inilah yang mengkhawatirkan Wade. la takut ada pengaruhnya pada penggantungan.
la mengatur agar orang itu dijemput lebih dulu, kemudian barulah Kirky dan Harry menjemput yang kedua.
Malam itu seperti biasa kami tidur pukul 22.00. Bagi saya waktu lewat lama sekali dan sangat menggelisahkan. Apalagi bagi terpidana.
Pukul 07.30 saya dibangunkan. Kami berdandan dan sarapan, sebelum pergi ke kamar eksekusi. Wade berpesan agar kami jangan berisik, sebab para terpidana ada di sel masing-masing.
Ternyata gang di muka pintu sel sudah ditutup dengan keset supaya langkah kami tidak terdengar. Lubang untuk mengintip pun sudah ditutup.
Kami membenahi kantong pasir dan pintu jebakan. Wade menyiapkan pengungkil dan mengukur kembali tali yang molor masing-masing setengah inci. Harry dan saya naik tangga untuk menyesuaikan rantai. Setelah Wade puas dengan tinggi kalung tali dsb., kami meninggalkan sel itu diam-diam.
Lima puluh lima menit menunggu di kamar kami merupakan saat yang paling menyiksa. Kami diam saja. Tidak ada yang bernafsu untuk berbicara. Suasana di seluruh penjara hening. Perut saya meronta-ronta karena senewen. Bagaimana kalau terpidana melawan? Apakah saya bisa cukup cekatan?
Anehnya, makin lama Wade tampaknya makin percaya diri. Padahal sipir saja pucat. Saya ingat kembali kata-kata Hughes, "Kalau kau masuk ke sel, perlihatkan wajah tegas tapi jangan brutal. Jangan membuat ia panik secara tidak perlu."
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR