Intisari - Online.com -Panji berwarna maroon bertuliskan slogan "Pulihkan Bersama, Pulihkan Lebih Kuat" berbaris di jalan bebas hambatan yang akan membawa para pemimpin dan delegasi mereka melintasi perairan dari bandara Bali ke daerah kantong wisata mewah Nusa Dua untuk KTT G20 pada akhir Oktober.
Kru perbaikan sibuk mengecat dan menghias sisi rute tersebut, seperti yang mereka lakukan untuk konferensi World Bank-IMF 4 tahun lalu.
Di bawahnya, pekerja menanam bibit-bibit pohon mangrove muda di tanah lumpur, bagian dari program lingkungan yang ditunjukkan Indonesia.
Melansir Asia Times, Indonesia melakukan hal ini dengan baik.
Memang bahkan pertemuan masih tujuh bulan lagi, tapi Joko Widodo ingin semuanya siap untuk acara yang ia anggap sebagai kemajuan negara dan tonggak sejarah pada masa kepresidenan dua periode.
Namun di timur Eropa tepatnya di Ukraina, serangan Rusia yang brutal, dan riak yang dikirimnya ke seluruh dunia, mengancam untuk menjadi kegagalan tonggak sejarah keberhasilan dua periode Jokowi.
Tepat ketika turis asing mulai kembali berwisata ke Bali, seperti mengutip Asia Times.
Dengan krisis sudah menjadi awan hitam membayangi konferensi ini, Presiden Jokowi yang biasanya tidak begitu meributkan hubungan internasional kini dihadapkan dengan keputusan berat untuk tidak mengundang Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Jika Jokowi mengundang Putin, sebanyak 15 pemimpin dunia dipimpin oleh Presiden AS Joe Biden, tentu saja memilih tidak datang daripada berada di satu ruangan dengan orang yang mereka kecam dan sudah mereka tuduh menjadi kriminal perang.
Kemudian tanpa Putin dan delegasi Rusia, ada ancaman China dan India dapat memboikot pertemuan sendiri.
Keduanya adalah salah dua dari 23 negara yang abstain dalam pemungutan suara PBB yang membuat kewalahan bertujuan untuk mengecam serangan Rusia ke Ukraina.
Para diplomat tidak yakin mereka melakukannya, menyadari posisi sulit Jokowi dan mempertimbangkan dua kekuatan besar tidak ikut dalam pemungutan suara melawan resolusi itu, seperti yang dilakukan Korea Utara, Eritrea, dan Suriah.
Indonesia mungkin tergoda untuk abstain juga, mengingat status historis non-blok dan pernyataan asli atas krisis mengecam "setiap aksi yang merupakan pelanggaran integritas dan kedaulatan wilayah negara manapun".
Tapi Indonesia tidak dengan jelas menyebut nama Rusia.
Faktanya, penolakan sanksi oleh Indonesia dan respon samar lainnya kepada aksi Rusia telah mendapat kritik besar-besaran dari Dunia, terutama dari duta besar Ukraina yang marah di Jakarta, yang mengirim surat kritik terbuka kepada Jokowi.
Ia menyebut kompromi Jokowi "memalukan".
Keraguan Indonesia memberi sanksi kepada Rusia dilaporkan tumbuh dari kilang minyak senilai USD 1,4 miliar dibangun di pantai utara Jawa oleh Pertamina dan raksasa energi Rusia, Rosneft.
Rosneft juga terlibat dengan Premier Oil dalam penemuan gas alam baru di Laut Natuna Utara.
"Kami tidak akan secara buta mengikuti langkah yang diambil negara lain," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah.
"Kami akan membuat keputusan berdasarkan kepentingan lokal dan apakah sanksi akan menyelesaikan apapun. Kami melihat waktu dan sekali lagi sanksi tidak berarti penyelesaian masalah tertentu."
Beberapa hal akan mencapai puncaknya pada pertemuan menteri-menteri luar negeri yang dijadwalkan yaitu G20 pada Juni besok, dengan sebagian besar partisipan diharapkan untuk menolak kehadiran delegasi Rusia.
Saat itu, Putin mungkin bisa menyelamatkan Jokowi dengan menolak hadir juga.
Pertama kalinya sejak ia menjadi presiden tahun 2012, pemimpin Rusia itu memang menjauh dari G20 terakhir di Roma, seolah-olah karena pandemi Covid-19, yang tampaknya menjelaskan preferensi berkelanjutannya untuk meja rapat yang panjang.
Dia mengirim Menteri Keuangan Anton Siluanov sebagai gantinya.
Apa pun yang terjadi di Bali, ada preseden untuk menolak kursi Putin di KTT.
Pada tahun 2014, forum politik G8 yang asli menangguhkan Moskow setelah aneksasi Krimea.
Pada 2017, Kremlin mengumumkan penarikan permanen dari pengelompokan itu.