Selain itu, invasi juga akan berdampak pada negara-negara yang bergantung pada minyak impor.
Sejarah menunjukkan bahwa semakin lama konflik berlangsung, semakin tidak menguntungkan kondisi bagi negara-negara yang membutuhkan minyak impor untuk mengamankan pasokan energi negara, termasuk untuk Indonesia.
Saat ini, perencanaan energi Indonesia didasarkan pada rencana energi nasional yang dikeluarkan pada tahun 2015.
Menurut proyeksi rencana, minyak akan mengambil 25 persen dari bauran energi negara pada tahun 2025 dan 20 persen pada tahun 2050.
Namun, pada tahun 2021, minyak menyumbang 31 persen dari bauran energi nasional.
Hal ini mencerminkan pentingnya minyak untuk pasokan energi domestik, sesuatu yang tampaknya tak tergantikan dengan jenis energi lainnya.
Apalagi, pemulihan ekonomi pascapandemi membuat banyak negara lebih mengandalkan energi fosil, mengingat keandalannya yang lebih tinggi.
Kecuali ada peningkatan produksi global, Indonesia harus setuju untuk mengimpor minyak dengan harga yang lebih tinggi dari yang diharapkan.
Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan komplikasi bagi kebijakan subsidi energi Indonesia.
Seperti diketahui, Indonesia menerapkan subsidi harga pada komoditas energi, seperti bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas cair (LPG), dan listrik, dalam upaya menjaga pasokan energi murah bagi masyarakat Indonesia.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR