Intisari-Online.com -Invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai sejak 24 Februari 2022 lalu masih terus berlangsung hingga kini.
Meski konflik Rusia-Ukraina baru berlangsung lebih dari seminggu, namun dampaknya sudah dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Konflik antara Rusia dan Ukraina telah berdampak signifikan pada sektor energi Indonesia.
Hal ini menunjukkan sejauh mana kebijakan energi Indonesia masih rentan terhadap guncangan eksternal.
Jalan keluar yang disarankan untuk menyelesaikan masalah dalam sektor energi ini pun akan memicu protes yang luas di kalangan masyarakat.
Dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap sektor energi Indonesia ini diulas olehI Dewa Made Raditya Margenta dan Filda C. Yusgiantoro dalam artikel berjudul 'How the Russia-Ukraine War Has Slammed Indonesia’s Energy Security' yang tayang di The Diplomat, Senin (7/3/2022).
Selama beberapa bulan terakhir, dunia telah dengan hati-hati memantau ketegangan yang meningkat antara Rusia dan Ukraina, yang memuncak pada invasi Rusia pada 24 Februari.
Sepanjang waktu itu, pasar telah bergejolak karena perselisihan Rusia-Ukraina, seperti yang ditunjukkan oleh kenaikan harga energi.
Harga minyak global terus melonjak hingga hampir $115 per barel setelah melonjak di atas $100 segera setelah invasi Rusia, tertinggi sejak September 2014.
Serangan itu telah mengganggu pasar minyak dan memberikan pukulan signifikan bagi negara-negara yang sangat bergantung pada Rusia untuk energi.
Selain itu, invasi juga akan berdampak pada negara-negara yang bergantung pada minyak impor.
Sejarah menunjukkan bahwa semakin lama konflik berlangsung, semakin tidak menguntungkan kondisi bagi negara-negara yang membutuhkan minyak impor untuk mengamankan pasokan energi negara, termasuk untuk Indonesia.
Saat ini, perencanaan energi Indonesia didasarkan pada rencana energi nasional yang dikeluarkan pada tahun 2015.
Menurut proyeksi rencana, minyak akan mengambil 25 persen dari bauran energi negara pada tahun 2025 dan 20 persen pada tahun 2050.
Namun, pada tahun 2021, minyak menyumbang 31 persen dari bauran energi nasional.
Hal ini mencerminkan pentingnya minyak untuk pasokan energi domestik, sesuatu yang tampaknya tak tergantikan dengan jenis energi lainnya.
Apalagi, pemulihan ekonomi pascapandemi membuat banyak negara lebih mengandalkan energi fosil, mengingat keandalannya yang lebih tinggi.
Kecuali ada peningkatan produksi global, Indonesia harus setuju untuk mengimpor minyak dengan harga yang lebih tinggi dari yang diharapkan.
Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan komplikasi bagi kebijakan subsidi energi Indonesia.
Seperti diketahui, Indonesia menerapkan subsidi harga pada komoditas energi, seperti bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas cair (LPG), dan listrik, dalam upaya menjaga pasokan energi murah bagi masyarakat Indonesia.
Dalam laporan terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total biaya subsidi energi mencapai Rp131,5 triliun pada tahun 2021, jauh lebih tinggi dari perkiraan awal, yang dibuat pada tahun 2020, sekitar Rp110,5 triliun.
Dengan demikian, konflik geopolitik saat ini berpotensi memicu peningkatan subsidi pemerintah dan semakin melemahkan ketahanan energi bangsa.
Namun, peningkatan subsidi pemerintah tidak ideal saat ini karena realokasi anggaran pemerintah dapat menggagalkan rencana pembangunan Indonesia yang lebih luas.
Akibatnya, menaikkan harga BBM mungkin menjadi pilihan paling realistis pemerintah, meski secara politik tidak pasti.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Supersemar dan Bagaimana Kekuasaan Soekarno Bisa Runtuh
Namun, jika kebijakan ini diambil, tentu hal ini akan memicu protes di kalangan masyarakat.
Menaikkan harga BBM akan merugikan daya beli masyarakat.
Selain itu, alternatif seperti kendaraan listrik (EV) dan jaringan gas rumah tangga untuk mengurangi konsumsi LPG sangat mahal atau tidak dapat diandalkan secara massal.
Semua ini memberikan tanda yang jelas bahwa Indonesia harus mempercepat transisinya ke energi terbarukan.