Melansir Asia Times, terkait serangan Rusia, sebuah serangan oleh negara autokrasi ke negara demokrasi, banyak pihak mengatakan demokrasi Barat gagal dan terpecah, bahwa pakta pertahanan NATO adalah simbol di masa lalu, dan kepercayaan publik atas dunia demokrasi telah runtuh.
Ada sejumlah hal mendukung penilaian ini.
Contohnya, hanya seperlima warga AS yang mendukung demokrasi sebagai tujuan kebijakan luar negeri.
Presiden AS Joe Biden berbicara tentang masa bagus selama kampanye pemilihannya mengenai mengembalikan dunia demokrasi sebagai kunci kebijakan luar negeri AS, setelah pendahulunya, Donald Trump, fokus dalam membangun persekutuan, seringnya dengan gaya transaksional, dan menghadang ketidakseimbangan perdagangan.
Namun Pertemuan Demokrasi Biden akhir Desember lalu dicibir karena tidak mengundang beberapa sekutu AS, seperti Filipina, sementara mereka mengundang pemerintah dengan catatan HAM yang patut dipertanyakan, seperti Republik Demokratik Kongo.
Pakar lain bertanya bagaimana Biden berniat memaksa pemerintah lain untuk mendemokratisasi administrasinya sering tampak sebagai isolasionis seperti pendahulunya, Trump, kunci pembicaraan setelah penarikan pasukan AS dari Afghanistan tahun lalu.
Namun hanya beberapa hari perang di Ukraina, ada tanda bahwa invasi Rusia telah memperkeruh pembagian dunia demokrasi dan otoritarian.
Konflik ini dianggap beberapa akan mengukuhkan penyelesaian negara demokrasi melawan ancaman dari rezim autokratis.
"Dalam perjuangan perlawanan berabad-abad lamanya antara autokrasi dan demokrasi, antara diktator dan kebebasan, Ukraina ada di garis depan," ujar Anne Applebaum, seorang jurnalis dan sejarawan Amerika.
Yascha Mounk, seorang ilmuwan politik Jerman-AS, menyeru invasi ini "dimulainya era baru dari kekuatan politik."
Terkait dengan Asia Tenggara, "perang di Ukraina seharusnya menjadi panggilan bagi Uni Eropa dan AS," ujar Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch Divisi Asia.
"Bermain dengan rezim otoritarian di Asia Tenggara tidak hanya akan mengkhianati aspirasi demokrasi bagi mereka yang ditekan tapi juga mendorong perilaku tidak bertanggung jawab dan tidak terhitungkan, seperti yang ditunjukkan pada kudeta militer Myanmar Februari 2021 lalu," tambah Robertson.
KOMENTAR