Intisari - Online.com -Singapura dan Indonesia sejauh ini jadi negara-negara Asia Tenggara yang secara terbuka mengecam invasi skala besar Rusia ke Ukraina, dengan Singapura mengumumkan sanksi atas Moskow awal minggu ini.
Untuk sebagian besar urusan ini, malah justru analis mengatakan bahwa pemerintah Singapura akan bertujuan menjaga sikap di tengah konflik, sensitif atas penekanan pada mitra-mitra Barat atau Rusia, penyedia bantuan militer dan senjata bagi banyak militer Asia Tenggara.
Tidak ada yang ingin perang di Eropa timur yang bisa meningkatkan ketegangan dengan China memantau Asia Tenggara, terutama sejak ada ketakutan bahwa Beijing dapat meningkatkan gangguan global Ukraina guna meningkatkan agresi mereka di Laut China Selatan yang penuh sengketa.
Beijing sudah lama terlibat konflik teritorial dengan negara-negara Asia Tenggara.
Hal ini akan menjadi keseimbangan berisiko bagi banyak gerakan di negara-negara regional yang ditekan oleh Barat untuk mulai memihak.
Pemerintahan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-ocha, yang terpilih tetapi memberatkan urusan militer, sudah umumkan pemerintahan militernya akan mempertahankan netralitas dalam konflik tersebut, walaupun ditekan oleh 25 duta besar di Bangkok untuk bersuara atas serangan tersebut.
Vietnam, yang berada di antara persekutuan Barat dan Moskow, mengambil posisi di tengah melalui pernyataan Dubes PBB Dang Hoang Giang untuk "mengakhiri penggunaan kekerasan" dan "upaya untuk solusi keberlanjutan" selama sesi darurat Pertemuan Umum PBB, menurut Agensi Berita Vietnam.
Myanmar yang kini dikuasai militer mengambil langkah ekstrim dengan juru bicara junta Zaw Min Tun mengatakan aksi Rusia "adalah hal benar dilakukan Rusia untuk mengkonsolidasi kedaulatannya" dan bahwa Moskow "menunjukkan kepada dunia mereka berdiri sebagai negara kuat dalam keseimbangan perdamaian dunia."
Untuk memastikan, perang ini sudah menghadapi ramifikasi geopolitik yang cepat dan dapat menuntun kepada konflik lebih luas antara rezim autokrasi dan demokrasi dunia.
Hal ini membawa kekhawatiran untuk Asia Tenggara di mana demorkasi ditolak selama bertahun-tahun ini.
Melansir Asia Times, terkait serangan Rusia, sebuah serangan oleh negara autokrasi ke negara demokrasi, banyak pihak mengatakan demokrasi Barat gagal dan terpecah, bahwa pakta pertahanan NATO adalah simbol di masa lalu, dan kepercayaan publik atas dunia demokrasi telah runtuh.
Ada sejumlah hal mendukung penilaian ini.
Contohnya, hanya seperlima warga AS yang mendukung demokrasi sebagai tujuan kebijakan luar negeri.
Presiden AS Joe Biden berbicara tentang masa bagus selama kampanye pemilihannya mengenai mengembalikan dunia demokrasi sebagai kunci kebijakan luar negeri AS, setelah pendahulunya, Donald Trump, fokus dalam membangun persekutuan, seringnya dengan gaya transaksional, dan menghadang ketidakseimbangan perdagangan.
Namun Pertemuan Demokrasi Biden akhir Desember lalu dicibir karena tidak mengundang beberapa sekutu AS, seperti Filipina, sementara mereka mengundang pemerintah dengan catatan HAM yang patut dipertanyakan, seperti Republik Demokratik Kongo.
Pakar lain bertanya bagaimana Biden berniat memaksa pemerintah lain untuk mendemokratisasi administrasinya sering tampak sebagai isolasionis seperti pendahulunya, Trump, kunci pembicaraan setelah penarikan pasukan AS dari Afghanistan tahun lalu.
Namun hanya beberapa hari perang di Ukraina, ada tanda bahwa invasi Rusia telah memperkeruh pembagian dunia demokrasi dan otoritarian.
Konflik ini dianggap beberapa akan mengukuhkan penyelesaian negara demokrasi melawan ancaman dari rezim autokratis.
"Dalam perjuangan perlawanan berabad-abad lamanya antara autokrasi dan demokrasi, antara diktator dan kebebasan, Ukraina ada di garis depan," ujar Anne Applebaum, seorang jurnalis dan sejarawan Amerika.
Yascha Mounk, seorang ilmuwan politik Jerman-AS, menyeru invasi ini "dimulainya era baru dari kekuatan politik."
Terkait dengan Asia Tenggara, "perang di Ukraina seharusnya menjadi panggilan bagi Uni Eropa dan AS," ujar Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch Divisi Asia.
"Bermain dengan rezim otoritarian di Asia Tenggara tidak hanya akan mengkhianati aspirasi demokrasi bagi mereka yang ditekan tapi juga mendorong perilaku tidak bertanggung jawab dan tidak terhitungkan, seperti yang ditunjukkan pada kudeta militer Myanmar Februari 2021 lalu," tambah Robertson.