Intisari-Online.com - Sejak pertama kali didirikan pada 732 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno sempat mengalami beberapa kali perpindahan ibu kota, hingga akhirnya pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10.
Mataram Kuno periode Jawa Timur kemudian lebih dikenal dengan nama Kerajaan Medang.
Rupanya, Mataram Kuno berhasil menguasai sebuah kerajaan yang diyakini sebagai kerajaan pertama di wilayah tersebut.
Ialah Kerajaan Kanjuruhan yang berdiri pada abad ke-8 Masehi.
Berdiri sekitar abad ke-8, tak lama kemudian yaitu pada awal abad ke-10, Kerajaan Kanjuruhan telah berada di bawah Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan Kanjuruhan tetap berdiri, tetapi harus melapor ke pemerintahan pusat dan para penguasanya menjadi raja bawahan dengan gelar Rakyan Kanuruhan atau Penguasa Daerah.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Kanjuruhan
Kerajaan Kanjuruhan adalah kerajaan bercorak Hindu yang berpusat di Desa Kejuron, dekat Kota Malang sekarang.
Sumber sejarah Kerajaan Kanjuruhan didapatkan dari Prasasti Dinoyo yang ditemukan di Malang.
Prasasti yang berangka tahun 760 ini bertuliskan huruf Kawi dengan bahasa Sanskerta.
Di dalam Prasasti Dinoyo diceritakan bahwa Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh Raja Dewashimha.
Setelah meninggal, ia kemudian digantikan putranya, Limwa, yang dikenal sebagai Gajayana.
Dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa Gajayana adalah raja Kerajaan Kanjuruhan yang paling terkenal.
Sementara para ahli menduga bahwa Kerajaan Kanjuruhan erat hubungannya dengan Kerajaan Kalingga (Holing) yang ada di Jawa Tengah.
Menurut berita dari Tiongkok, sekitar tahun 742-755 masehi, Raja Kiyen yang saat itu berkuasa memindahkan ibu kota Holing ke Jawa Timur.
Masa Keemasan hingga Keruntuhannya
Kerajaan Kanjuruhan di bawah kekuasaan Raja Gajayana mencapai puncak keemasan.
Kerajaan ini mengalami perkembangan pesat dalam bidang pemerintahan, sosial, ekonomi, ataupun seni budaya.
Wilayah kekuasaannya meliputi daerah Malang, lereng timur dan barat Gunung Kawi, dan ke utara hingga pesisir laut Jawa.
Selama masa pemerintahan Gajayana, jarang terjadi peperangan, pencurian, dan perampokan karena raja selalu bertindak tegas sesuai hukum.
Raja Gajayana juga membuat sebuah tempat suci pemujaan yang sangat bagus untuk memuliakan Resi Agastya.
Selain itu, dibangun pula arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok. Bersamaan dengan pentasbihan bangunan suci tersebut, Gajayana menganugerahkan sebidang tanah, sapi, kerbau, serta budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaga kepada para pendeta.
Setelah Gajayana mangkat, kekuasaan jatuh ke tangan putrinya, Uttejana yang menikah dengan Pangeran Jananiya dari Paradeh.
Pada awal abad ke-10, ketika Rakai Watukura berkuasa, Kerajaan Kanjuruhan berada dalam kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno.
Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno zaman Dyah Balitung, raja Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan.
Kanuruhan sendiri rupanya merupakan perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu.
(*)