Advertorial
Intisari-Online.com - Melancarkan invasi ke Ukraina membuat Rusia harus menghadapi sanksi dan kecaman dari Amerika Serikat (AS) serta negara-negara lainnya terutama Barat.
Mislnya, AS melalui Kantor Pengawasan Aset Asing Kementerian Keuangan memberlakukan pembatasan pada dua bank terbesar Rusia – Perusahaan Saham Gabungan Publik Sberbank of Russia (Sberbank) dan Perusahaan Saham Gabungan Publik VTB Bank (VTB Bank), dan hampir 90 anak perusahaan lembaga keuangannya di seluruh dunia pada Kamis (24/2/2022).
Sementara Uni Eropa berjanji membekukan aset Putin, dan meluncurkan sanksi menargetkan elit Rusia, dengan daftar individu yang terkena sanksi bertambah pada Minggu (27/2/2022).
Ada sejumlah negara lainnya yang juga telah memberlakukan sanksi terhadap Rusia, termasuk Jepang, Taiwan, hingga Australia.
Meski begitu, tampaknya Presiden Rusia Vladimir Putin tak gentar dengan berbagai tindakan AS maupun negara-negara Barat lainnya.
Sejumlah analisis telah menilai bahwa Rusia sesungguhnya memiliki 'senjata rahasia' untuk melumpuhkan Barat terutama Eropa dan memecahbelah kesatuan di antaranya.
Senjata itu bukanlah bomber atau kapal perang nuklir, lalu 'senjata rahasia' apa yang dimiliki Rusia?
Itu adalah gas alam, dengan fakta bahwa Rusia merupakan salah satu eksportir besar sumber energi tersebut.
Menurut data badan data Eurostat di tahun 2020, Rusia menyumbang sekitar 38% dari impor gas alam Uni Eropa yang mengirimkan hampir 153 miliar meter kubik.
Kontribusi Negeri Beruang Putih semakin besar di Eropa sejak produksi gas Belanda menurun akibat penutupan ladang gas. Belum lagi penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Prancis dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Jerman.
Saat ini Eropa pun masih menghadapi tekanan dari krisis energi akibat pasokan yang langka sehingga menyebabkan harga gas masih tinggi. Dampaknya adalah biaya jadi mahal baik untuk rumah tangga maupun industri.
Hal itu pun ditunjukkan dengan harga gas Eropa melonjak setelah Rusia resmi meluncurkan operasi militer di Ukraina.
Saat ini yang baru terjadi, AS menjatuhkan sanksi pada perusahaan yang bertanggung jawab untuk membangun pipa gas Nord Stream 2 Rusia.
Sanksi yang menargetkan perusahaan Nord Stream 2 AG dan pejabat perusahaannya itu disebut menambah tekanan pada proyek Laut Baltik yang dirancang untuk menggandakan kapasitas aliran gas dari Rusia ke Jerman.
Terkait hal itu, mengutip euronews (28/2/2022), menurut Komisi Eropa, pasokan gas Eropa saat ini tidak akan terpengaruh karena pipa Nord Stream 2 belum beroperasi.
Meski begitu, ada kemungkinan lain bahwa Rusia dapat menangguhkan penjualan gas ke Eropa sebagai pembalasan atas sanksi, atau konflik militer menyebabkan kerusakan pada salah satu pipa yang melintasi Ukraina membawa gas ke Eropa, kata analis di Institut Oxford untuk Studi Energi.
Bagaimana gas alam menjadi 'senjata rahasia' Rusia dalam menghadapi Barat pernah terjadi pada satu dekade lalu, tepatnya pada musim dingin 2008-2009.
Saat itu, pertengkaran kecil antara Rusia-Ukraina menghentikan aliran gas dan membuat sebagian Eropa kedinginan.
Maka, tak heran jika hal tersebut dikhawatirkan bakal kembali terjadi di Eropa apabila Rusia kembali "ngambek" dan tak ada jalan damai.
Meskipun Eropa telah melakukan investasi besar dalam energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya, ternyata sumber pasokan konvensional masih dibutuhkan, menurut laporan The New York Times.
Pembangkit listrik berbahan bakar gas adalah salah satu dari sedikit pilihan yang tersisa.
"Ini adalah semacam momen 'oh my God' di mana kawasan itu menyadari bahwa itu sangat bergantung pada gas Rusia," kata kepala penelitian makro global di bank Belanda ING Carsten Brzesk.
Persoalan gas ini juga diperkirakan membuat sejumlah pemimpin Eropa tak serta-merta setuju dengan kemungkinan perang dan lebih mendorong diplomasi untuk menyelesaikan konflik ini.
(*)