Intisari-Online.com - Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Kamis (24/2/2022) kemarin, negara-negara Barat mulai memberikan sanksi tegas kepada Rusia.
Jikainvasi Rusia ke Ukrainaini berhubungan dengan pasukan militer, maka sanksi yang diberikan adalah sanksi ekonomi besar-besaran.
Tujuannya untukmenghukum Presiden Rusia Vladimir Putin atas invasinya ke Ukraina.
Beberapa sanksi ekonomi itu menargetkan sektor keuangan Rusia dan bank-bank utamanya.
Sehingga Rusia dikeluarkan dari pasar modal di Barat.
Sanksi lainnya terkaitindustri besar di sektor energi dan teknologi.
Akibatnya sungguh mengerikan. Terjadigejolak ekonomi di Rusiayang belum pernah terjadi sebelumnya.
Alhasil itumenyebabkan kepanikanpada seluruh warga Rusia.
Dilansir dariexpress.co.uk pada Selasa (1/3/2022), terjadiantrian di toko-toko di Rusia,
Ini karenaruntuhnya rubel, mata uang Rusia.
"Teman saya mengatakan dia tidak dapat memperbarui kontrak kerjanya hari ini, uang yang dia tabung sekarang tidak berharga dan semua orang panik."
Sanksi ekonomi memang telah menyebabkan mata uang nasional anjlok nilainya.
Rubel awalnya merosot 30 persen pada hari Senin. Padahal sebelum turun 20 persen.
Jatuhnya rubel memaksa Bank Rusia untuk menggandakan suku bunga menjadi 20 persen.
Runtuhnya nilai rubel mengikis daya beli mata uang dan dapat menghapus tabungan orang Rusia biasa.
Laporan juga muncul bahwa bank mulai kehabisan uang, karena orang mati-matian mencoba menarik uang tunai.
William Legate memposting di Twitter: "Bank-bank Rusia mulai kehabisan uang."
Dia menambahkan foto ATM yang menampilkan pesan: "Maaf, tidak ada uang dalam mata uang seperti itu."
Sberbank, bank terbesar di Rusia dan di mana sebagian besar orang Rusia memiliki rekening, mengatakan telah mengalami aliran keluar simpanan yang signifikan dalam waktu yang sangat singkat.
Chris Weafer, kepala eksekutif di perusahaan konsultan Micro-Advisory dan berbasis di Moskow, mengatakan kepada BBC: "Sanksi ini memukul warga Rusia biasa."
"Orang-orang jauh lebih takut."
“Sudah ada pembicaraan tentang beberapa perusahaan yang harus mengurangi jam kerja."
"Stau bahkan menangguhkan produksi karena mereka tidak dapat mengakses mungkin bagian-bagian penting dari Barat."
"Ini karena sanksi atau karena pembatasan perdagangan. Jadi ada banyak masalah."
Apa yang terjadi di Rusia saat ini hampir sama sepertigejolak ekonomi di awal tahun 1990-an, ketika Boris Yeltsin memperkenalkan reformasi ekonomi pasarnya.
Ini awalnya menyebabkan inflasi spiral yang menghancurkan tabungan masyarakat.
Pada tahun pertama reformasi, harga eceran di Rusia meningkat secara mengejutkan sebesar 2.520 persen.
Lalu Rusia kembali diguncang oleh kesengsaraan ekonomi pada tahun 1998, ketika harus mendevaluasi mata uangnya dan gagal bayar utangnya setelah krisis keuangan Asia.
Banyak bank swasta bangkrut dan lagi-lagi orang kehilangan tabungan mereka.
Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, mencoba meyakinkan publik bahwa keadaan akan tenang dan menjadi lebih baik.
"Ini adalah sanksi berat, itu bermasalah, tetapi Rusia memiliki potensi yang diperlukan untuk mengkompensasi kerusakan dari sanksi ini," tutupnya.