Intisari-Online.com - Jika terjadi, invasi Rusia ke Ukraina yang tengah dikhawatirkan dunia, bakal menguji tekad China untuk membuktikan kata-katanya dalam mendukung Ukraina.
Hal itu terutama mengingat prinsip non-intervensi kebijakan luar negeri China yang sering dinyatakannya.
Melansir Reuters, Minggu (20/2/2022), Kementerian luar negeri China telah berulang kali menyalahkan Amerika Serikat (AS) karena disebut menyebarkan informasi palsu dan menciptakan ketegangan.
China pun mendesak AS untuk menghormati dan memenuhi tuntutan Rusia untuk jaminan keamanan.
Untuk menunjukkan solidaritas, Putin mengunjungi Beijing untuk upacara pembukaan Olimpiade pada 4 Februari, menyatakan dengan mitranya dari China Xi Jinping kemitraan strategis tanpa batas yang mendalam.
Media pemerintah China mengatakan kedua negara berdiri bahu bahu membahu dalam menegakkan keadilan di dunia.
Meski China menjadi salah satu negara yang mendukung Rusia, tetapi rupanya bukan bantuan militer yang diperlukan oleh Rusia dari China.
Lalu, bantuan seperti apa yang bakal dibutuhkan Rusia dari China jika terjadi invasi ke Ukraina dan membuatnya berhadapan dengan NATO dan negara-negara Barat?
Para ahli yang akrab dengan pemilikiran Beijing berpendapat, China hampir pasti tidak ingin terlibat secara militer.
Menurut Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Renmin Universitas, hubungan antara China dan Rusia jauh dari aliansi formal yang mengharuskan satu untuk mengirim pasukan jika yang lain menghadapi ancaman.
Baik China maupun Rusia, disebut tidak membutuhkan bantuan militer dalam konflik yang dihadapinya masing-masing.
Hal itu seperti yang diungkapkan Li Mingjiang, profesor di S. Rajaratnam, Sekolah Studi Internasional di Singapura.
“Sama seperti China yang tidak mengharapkan Rusia untuk membantunya secara militer dalam kasus perang atas Taiwan, Rusia tidak mengharapkan China untuk membantu secara militer atas Ukraina, juga tidak membutuhkan bantuan seperti itu,” katanya.
Bantuan yang dibutuhkan Rusia adalah dukungan secara diplomatis dan ekonomi.
Disebut bahwa China akan menunjukkan bahwa Ia adalah teman yang dapat diandalkan dengan tidak bergabung dengan paduan suara kecaman internasional jika Rusia menginvasi Ukraina.
China sendiri adalah satu-satunya negara yang memberikan suara dengan Rusia bulan lalu dalam upaya yang gagal untuk menghentikan pertemuan Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 orang, atas permintaan Amerika Serikat, mengenai penambahan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina.
Selain itu, para ahli mengatakan bahwa China dapat memperluas kerja sama ekonomi dengan Rusia, dukungan yang akan menumpulkan dampak sanksi yang dijanjikan oleh Barat jika ada invasi.
Setelah invasi Rusia ke Krimea, beberapa bank pemerintah China, termasuk China Development Bank dan Bank Ekspor-Impor China memberikan pinjaman untuk bank-bank milik negara Rusia yang disetujui oleh Barat.
Sementara itu, China secara konsisten menyerukan agar krisis Ukraina diselesaikan secara damai melalui dialog.
Meski mendukung Rusia, disebut China lebih suka jika Rusia tidak menginvasi Ukraina. Hal ini terkait kemungkinan sanksi yang timbul bagi China dan Rusia.
"Dengan dunia internasional yang begitu terpolarisasi, mungkin saja Amerika Serikat dan Barat bersatu dalam mengisolasi atau memberikan sanksi kepada China bersama dengan Rusia," kata Shi.
Awal bulan ini, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan perusahaan China akan menghadapi konsekuensi jika mereka berusaha menghindari kontrol ekspor yang dikenakan pada Moskow jika terjadi invasi Rusia ke Ukraina.
Seseorang yang akrab dengan pemikiran AS mengatakan kepada wartawan bahwa sanksi terkait teknologi dan kontrol ekspor yang direncanakan Washington dengan sekutu berada di luar kemampuan China untuk mengisi ulang.
"Kami siap untuk mengambil tindakan terhadap negara atau entitas asing mana pun yang akan menghindarinya," kata orang tersebut.
(*)