Intisari-Online.com - Sejarah berdirinya Kerajaan Kediri dimulai pada tahun 1045, ketika Raja Airlangga membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua untuk kedua putranya.
Masing-masing, yaitu Kerajaan Panjalu atau Kediri untuk Sri Samarawijaya dan Kerajaan Jenggala untuk Mapanji Garasakan.
Hal itu dilakukan untuk menghindari perebutan takhta di antara keturunan Prabu Airlangga tersebut.
Kendati demikian, dua putra Airlangga tersebut masih berseteru karena sama-sama merasa berhak atas seluruh takhta.
Peperangan antara Kediri dan Jenggala pun terus terjadi selama 60 tahun lamanya.
Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, kedua kerajaan yang terpecah kembali bersatu.
Masa pemerintahan Raja Jayabaya itulah yang disebut sebagai puncak kejayaan Kerajaan Kediri.
Raja jayabaya dikenal sebagai raja bijaksana, yang memerintah secara adil dan rakyatnya menjadi makmur.
Selain itu, di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kediri mencapai seluruh Pulau Jawa, sebagian Sumatera, pantai Kalimantan dan Kerajaan Ternate.
Bahkan nama Kerajaan Kediri terkenal hingga ke China, dibuktikan dengan tulisan saudagar bernama Khou Ku Fei yang memaparkan tentang karakteristik masyarakat di Kediri.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Sri Jayabaya pun sudah teratur, sementara hukum dilakukan secara tegas dan adil.
Nama Sri Jayabaya diabadikan dalam Kitab Bharatayudha, dan sampai sekarang ia dikenal karena ramalannya tentang Indonesia dalam Jangka Jayabaya.
Adapun Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Kediri, di antaranya:
Runtuhnya Kediri di Bawah Pemerintahan Raja yang Terkenal Kejam
Setelah mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Jayabaya yang dikenal sebagai raja yang bijaksana, Kerajaan Kediri justru runtuh di bawah pemerintahan raja yang dikenal sangat kejam.
Dia adalah Raja Kertajaya, atau yang dikenal sebagai Prabu Kertajaya.
Raja Kertajaya pun menjadi raja terakhir Kerajaan Kediri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222.
Ia naik takhta untuk menggantikan Sri Kameswara, yang berkuasa di Kediri menjelang akhir abad ke-12.
Terkenal sangat kejam, Prabu Kertajaya juga disebut sering mengklaim bahwa dirinya adalah dewa yang bebas berkehendak sesuka hati.
Raja Kertajaya bahkan mewajibkan rakyat, termasuk para Brahmana, untuk menyembahnya.
Raja Kertajaya disebut tidak ragu untuk menyiksa para Brahmana yang menolak untuk menyembahnya, bahkan hingga meninggal dunia.
Selama ia memerintah, para Brahmana dan rakyat membencinya. Para pendeta Hindu dan Buddha pun menolak perintah raja itu, karena sepanjang sejarahnya tidak ada Brahmana yang menyembah raja.
Di akhir kekuasaannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel yang sekaligus menandai berahirnya Kerajaan Kediri.
Sumber-suber tertulis tentang Raja Kertajaya didapat dari Kitab Negarakretagama, Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), Prasasti Biri, dan Prasasti Lawadan (1205).
Serangan Ken Arok terhadap Kediri
Dibenci rakyat hingga ditolak para pendeta, Raja Kertajaya kemudian memilih melarikan diri ke Tumapel guna mencari perlindungan dari Ken Arok.
Hal itu malah menjadi kesempatan bagi Ken Arok untuk menyerang Kediri.
Saat itu, Ken Arok adalah penguasa Tumapel, yang berniat untuk melepaskan diri dari Kerajaan Kediri.
Maka, tidak lama setelahnya, para Brahmana merestui Ken Arok sebagai raja di Tumapel, yang kekusaannya terpisah dari pengaruh Kerajaan Kediri.
Ken Arok memakai gelar Bathara Guru (nama lain Dewa Syiwa) dan segera memimpin pasukkannya, yang didukung oleh para Brahmana, untuk bergerak menyerang ke Kediri.
Pertempuran terjadi antara pasukan Tumapel yang dipimpin oleh Ken Arok dan tentara Kediri di bawah pimpinan Mahisa Walungan, adik Raja Kertajaya.
Berlangsung di sebelah utara Ganter, sekitar Malang sekarang, pertempuran itu pun dikenal dengan nama Perang Ganter.
Mengalami kekalahan, Raja Kertajaya memilih melarikan diri.
Di dalam kitab Negarakretagama disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa), sedangkan Kitab Pararaton menyebut Raja Kertajaya lenyap ke alam kedewaan dan tidak meninggalkan bekas.
Peristiwa itu mengakhiri masa kekuasaan Kerajaan Kediri, yang wilayahnya kemudian menjadi bawahan Kerajaan Tumapel atau dikenal sebagai Kerajaan Singasari.
(*)