Intisari-Online.com - Pajajaran menjadi kerajaan Hindu terakhir di Tatar Sunda.
Masa kekuasaanya berakhir pada tahun 1579, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten.
Palangka Sriman Sriwacana merupakan batu berukuran 200 x 160 x 20 cm.
Diboyongnya batu itu sesuai tradisi politik, yaitu agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Sosok penguasa yang berhasil menaklukan Pajajaran adalah seorang raja dari Kesultanan Banten.
Dia adalah Raja Kedua Banten, Sultan Maulana Yusuf.
Kesultanan Banten sendiri merupakan salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa, yang menguasai wilayah Banten yang terletak di barat Pulau Jawa.
Kerajaan tersebut berdiri pada tahun 1526, dengan Sunan Gunung Jati dianggap sebagai pendirinya, tetapi ia tak mengangkat dirinya sebagai raja.
Sunan Gunung Jati menyerahkan kekuasaan Banten kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin, sementara ia sendiri memilih menjadi Sultan Cirebon.
Sultan Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten pada 1552 dan memerintah hingga tahun 1570.
Maulana Yusuf merupakan sosok yang memerintah Kesultanan Banten setelahnya.
Dia merupakan putra Sultan Maulana Hasanuddin dan Ratu Ayu Kirana.
Sultan Maulana Yusuf menikah dengan Ratu Hadijah dan mempunyai dua anak, yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad.
Pangeran Muhammad merupakan putra yang nantinya meneruskan takhta dan menjadi raja ketiga Kesultanan Banten.
Berkuasa antara 1570-1580 M, penaklukan Sultan Maulana Yusuf terhadap Kerajaan Pajajaran menjadi salah satu pencapaian terbesarnya.
Penaklukkan terhadap Pajajaran dilandasi oleh tekadnya untuk menyebarkan agama Islam hingga ke pedalaman Banten.
Sejak saat itu, agama Islam semakin tersebar luas di Jawa Barat.
Selama satu dekade kekuasannya, Maulana Yusuf menitikberatkan perhatiannya pada pengembangan kota, keamanan wilayah, serta melanjutkan politik ekspansi ayahnya.
Selain itu, sebagai upaya mengembangkan Banten menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan internasional, Sultan Maulana Yusuf juga memusatkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan pertanian.
Sektor perdagangan yang telah dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin menjadi semakin besar dan ramai.
Ketika Sultan Maulana Yusuf berkuasa, Banten menjadi tempat distribusi barang dagangan dari penjuru dunia.
Para pedagang dari Cina, Arab, Persia, Gujarat, Portugis, serta pedagang dari seluruh pelosok nusantara saling bertukar barang dagangannya di Banten.
Situasi perdagangan yang ramai itu pada akhirnya mendorong para pendatang untuk menetap.
Pada masa pemerintahannya pula, dibuat aturan penempatan penduduk sesuai dengan keahlian, daerah asal, serta jabatan tertentu. Misalnya, Kepandean untuk tempat para pandai besi, Pengukiran untuk tempat tukang ukir, atau Pagongan untuk tempat pembuat gong dan gamelan.
Sementara dalam bidang pertanian, Sultan Maulana Yusuf mendorong rakyatnya untuk membuka daerah-daerah baru bagi persawahan, hingga akhirnya mencapai Serang.
Untuk mengairi lahan pertanian, dibuatlah terusan-terusan irigasi dan bendungan-bendungan.
Perhatiannya yang besar terhadap agama Islam dibuktikan dengan memperluas serambi Masjid Agung yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin.
Bahkan sebagai kelengkapan, dibangunlah menara dengan bantuan seorang arsitek muslim asal Mongolia bernama Cek Ban Cut.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada 1580 M karena sakit dan dimakamkan di Pekalangan Gede, dekat kampung Kasunyatan sekarang.
Karena itu, setelah meninggal ia diberi gelar Pangeran Panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean.
Raja-raja Kesultanan Banten setelah Sultan Maulana Yusuf di antaranya: Maulana Muhammad (1585-1596), Sultan Abdul Muafakir (1596-1651), Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683).
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa-lah, disebut-sebut Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya.
(*)