Advertorial
Intisari-Online.com - Kesultanan Banten merupakan kerajaan Nusantara yang berani melawan Belanda.
Tepatnya, persekutuan dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Seperti banyak diketahui, VOC merupakan persekutuan dagang belanda yang diberi hak istimewa untuk melakukan monopoli perdagangan dan berkuasa di tanah jajahan.
VOC resmi dibentuk pada tahun 1602 dengan Pieter Both sebagai Gubernur Jenderal pertamanya.
Selama berada di Banten, VOC mendapatkan pertentangan dari raja Banten yang ke-6, Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Ageng Tirtayasa dikenal terkenal gigih dalam memerangi Belanda, meski pada akhirnya ia ditangkap dan dipenjara. Penangkapannya pun menandai kemunduran Kesultanan Banten.
Raja penggantinya, Sultan Haji, berhasil dijadikan sebagai ‘’raja boneka’’ dan secara tidak langsung VOC dapat menaklukan Banten serta memonopoli perdagangan di kawasan pesisir Jawa.
Bagaimana pun, kegigihan Kesultanan Banten melawan Belanda menjadi catatan penting dalam sejarah Nusantara. Bagaimana sejarah kerajaan ini?
HJ de Graaf dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa (1985) menuturkan kerajaan Banten berdiri di abad ke-16.
Pada tahun 1524 atau 1525, Nurullah dari Pasai yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati berlayar dari Demak ke Jawa Barat.
Saat itu, pusat pengembangan agama Islam di Jawa masih terpusat di Demak.
Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin melebarkan pengaruh Islam ke barat Pulau Jawa.
Saat itu, Kerajaan Sunda bersekutu dengan Portugis.
Kemudian, dibantu oleh tentara Demak, Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin menyingkirkan Bupati Sunda untuk mengambil alih Banten.
Dalam Ragam Pusaka Budaya Banten (2007), Sunan Gunung Jati dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten. Namun ia tak mengangkat dirinya sebagai raja.
Sunan Gunung Jati memilih menjadi Sultan Cirebon, sementara Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten pada 1552. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Banten mengalami perkembangan pesat.
Banten melepaskan diri dari Demak dan kemudian menjadi pusat perdagangan di barat Pulau Jawa.
Setelah menjadi raja, Sultan Maulana Hasanuddin pun melanjutkan cita-cita ayahnya untuk meluaskan pengaruh Islam di tanah Banten.
Bahkan Banten mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di nusantara, khususnya di wilayah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatera Selatan.
Menurut catatan sejarah Banten, sultan yang berkuasa masih keturunan Nabi Muhammad, sehingga agama Islam benar-benar menjadi pedoman rakyatnya.
Meski ajaran Islam memengaruhi sebagian besar aspek kehidupan, masyarakatnya telah menjalankan praktik toleransi terhadap pemeluk agama lain.
Terlebih lagi, banyak orang India, Arab, Cina, Melayu, dan Jawa yang menetap di Banten.
Salah satu bukti toleransi beragama pada masa pemerintahan Kesultanan Banten adalah dibangunnya sebuah klenteng di pelabuhan Banten pada 1673 M.
Raja-raja Kesultanan Banten
Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kesultanan Banten setelah Sultan Hasanuddin, di antaranya:
Tetapi sebelum itu, di bawah Maulana Yusuf, kerajaan ini berhasil menaklukan Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu.
Pada 1579, kerajaan Banten menyerang Kerajaan Pajajaran, dan akibat serangan tersebut Kerajaan Pajajaran pun mengalami keruntuhan.
Berakhirnya Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu diboyong karena tradisi politik agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Hal itu juga menandai bahwa Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah putri Sri Baduga Maharaja.
Baca Juga: Daftar Sumber Sejarah Kerajaan Singasari, Apa Sajakah Sumbernya?
(*)