Intisari - Online.com -Kementerian Pertahanan Indonesia baru saja menandatangani kerja sama dengan Perancis untuk pembelian total 42 pesawat tempur Dassault Rafale generasi 4,5.
Pembelian akan dilakukan secara bertahap, dengan langkah awal membeli 6 pesawat yang didatangkan memperkuat alutsista TNI AU.
Langkah Prabowo Subianto membeli jet tempur ini dianggap sebagai jawaban atas desakan evaluasi dan modernisasi alutsista milik TNI yang sebelumnya disuarakan berbagai pihak.
Dassault Rafale sendiri merupakan salah satu jet tempur unggulan dari Perancis.
Ulasan mengenai keberhasilan pesawat ini bercampur.
Namun di tahun 2016, pesawat ini begitu diincar oleh India.
Apa yang menyebabkan India menginginkan pesawat ini?
Melansir The National Interest, tahun 2016 lalu India membeli 36 unit Dassault Rafale.
Pejabat India mengatakan jet itu bisa membawa bom nuklir dan jet dipakai "sebagai sistem pengiriman airborne strategis."
Ungkapan itu adalah ungkapan sopan mengatakan jet tempur yang diincar India bisa menjatuhkan nuklir.
Ini adalah salah satu misi yang mana Dassault Aviation rancang Rafale bisa melakukannya.
Penjualan 36 unit Rafale ke India tahun 2016 itu juga merupakan pengiriman paling penting bagi perkembangan senjata nuklir New Delhi.
"Kami harapkan tingkat kerjasama yang sama dari Perancis ketika kami memodifikasi dan menggunakan Rafale untuk peran itu," ujar pejabat militer kedua ke The Indian Express.
Ada alasan mengapa India memilih pembelian senjata dari Perancis.
India pernah meledakkan lima bom nuklir dalam dua hari di tahun 1998, menyebabkan India menjadi negara bersenjata nuklir.
Beberapa minggu kemudian, Pakistan meledakkan lima nuklir di lokasi tes bawah tanah.
Amerika Serikat memberi sanksi kepada dua negara.
Namun Perancis tidak memberlakukan sanksi.
Tidak sebanding dengan F-35
Rafale generasi keempat dinyatakan menggantikan jet tempur Perancis Mirage 2000 generasi keempat.
Pakar menyebut Dassault Rafale tidak bisa menandingi F-35 buatan Lockheed Martin.
Pada Januari 2019, Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly mengumumkan Prancis akan berkomitmen $2,3 miliar untuk mengembangkan generasi F4 dari pesawat tempur multiperan bermesin ganda Dassault Rafale.
Ini akan mencakup produksi pada tahun 2022–2024 dari dua puluh delapan pesanan asli 180 Rafale terakhir, diikuti dengan pembelian tiga puluh Rafales F4.2 tambahan antara tahun 2027–2030, dengan total 210 unit.
Sejak 2008, Perancis telah mengerahkan Rafale berbasis darat dan kapal induk ke dalam pertempuran di Afghanistan, Irak, Libya, Mali dan Suriah.
Rafale dinamai dari bahasa Perancis yang artinya "letupan api", dan walaupun menggabungkan teknologi siluman, Rafale bukan pesawat siluman sejati seperti F-35.
Sayap dan badan pesawat jet Prancis terutama terdiri dari bahan komposit penyerap radar dan titanium ringan.
Fitur desain tersembunyi lainnya termasuk saluran masuk mesin berbentuk S, tepi bergerigi, dan skema pendinginan saluran pembuangan yang dirancang untuk mengurangi tanda inframerah.
Radar Cross Section (RCS) milik Rafale berukuran sedikit di atas satu meter persegi, sebanding dengan rekan-rekan seperti Super Hornet dan Typhoon.
Namun urutan besarnya lebih besar daripada jet F-35.
Keunggulan Rafale dibandingkan F-35 adalah jauh lebih gesit, dengan tingkat pendakian yang superior, kinerja belokan yang berkelanjutan, dan kemampuan untuk melakukan super-cruise dengan kecepatan Mach 1.4 sambil membawa senjata.
Mach adalah satuan kecepatan suara dengan perbandingan dengan kilometer per jam adalah Mach 1 setara dengan 1.234,8 km/jam.
Kecepatan Mach 1,4 berarti setara dengan 1.728,72 km/jam.