Penulis
Intisari-Online.com - Secara resmi, Indonesia telah memesan 42 jet tempur Rafale buatan Prancis,Dassault Aviation.
Pembelian42jet tempur Rafaleituditandatangani oleh Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan Marsda Yusuf Jauhari sebagai wakil dariKementerian Pertahanan (Kemenhan) Indonesia.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga hadir dalampenandatangan kontrak tersebut bersamaMenteri Pertahanan Prancis Florence Farly.
Dassault Rafale asal Prancis adalah salah satu dari tiga pesawat tempur yang diproduksi di Eropa saat ini.
Dan satu-satunya pesawat tempur Prancis yang diproduksi.
Meskipun berasal dari program Eurofighter yang dijalankan bersama oleh Inggris, Jerman, dan Italia, Rafale memiliki beberapa perbedaan penting.
Termasuk penggunaan mesin Snecma M88 yang jauh lebih lemah yang membuat jet jauh lebih lambat dan kurang bermanuver.
Akibatnya hal ini telah mengurangi ketinggianterbang pesawat hampir5.000 meter.
Namunmemberikan jangkauan yang lebih jauh karena konsumsi bahan bakar yang lebih rendah.
Meskipun ukurannya kecil dan keterbatasan pada banyak teknologinya, terutama jika dibandingkan dengan pesawat yang lebih canggihsepertiF-35A Amerika,Rafale adalah salah satu pesawat tempur paling mahal di pasar dunia.
Jet tempur ini telah dijual seharga 240-260 juta Dollar AS per unit.
Dinilai terlalu mahal dan skala produksi Rafale yang sangat kecil, Rafale rupanya telah kehilangan sebagian besar tawaran ekspornya karena beberapa hal.
Misalnya dari Korea Selatan dan Singapura yang memilih F-15 yang kuat.
Atau Mesir yang menolak tawaran batch Rafale kedua dan memilih Su-35.
Brasil, Oman, Maroko, Uni Emirat Arab, dan Kuwaitjugamenolak jet untuk desain menengah atau ringan lainnya.
Akhirnya mereka lebih memilih F-16 dan F-18.
Untuk kegagalan tawaran Maroko, Menteri Pertahanan Prancis Herve Morin mengklaim bahwa penyebabnya adalah kecanggihan dan biaya pesawat yang berlebihan.
Libya juga, yang pernah mempertimbangkan untuk memperoleh Rafale sebelum perang pecah di negara itu pada tahun 2011, dilaporkan menolak pesawat tempur itu demi Su-30.
Alasannya lebih hemat biaya, jauh lebih berat, dan lebih mampu yang direncanakan untuk dipesan.
Kegagalan paling menonjol dalam upaya Prancis untuk mengekspor Rafale terjadi pada 2018.
Pada saat itu, Prancis menawarkan investasi senilai 20 miliar Euro kepada Belgia jika negara itu memilih pesawat tempurnya daripada Eurofighter dan F-35A.
Pabrikan Dassault Aviation menjanjikan pengembalian ekonomi sebesar 100% dari harga pembelian selama 20 tahun dan lebih dari 5.000 pekerjaan teknologi tinggi jika Belgia membeli Rafale.
Meski begitu, Pranciskalah telak ketika Belgia lebih memilih F-35A.
Prancis pun mengungkapkan kekecewaan yang kuat.
Kekecewaan Prancis makin terasa ketika 3 negara yang memesan jet tempur Rafale tak lagi memesannya.
Misalnya Mesir. Tapi kemungkinan ini karenapenggulingan pemerintah yang bersekutu dengan Barat pada tahun 2014.
Selanjutnya Qatar yang saatini sedang mempertimbangkan pesanan lebih lanjut untuk jet F-15, dan bahkan telah menunjukkan minat pada Su-35.
Terakhir, klien ekspor ketiga Rafale, India.
India mengurangi pesanannya dari 126 jet tempur Rafale menjadi hanya 36, buah.
Masalahekspor jet dengan oposisi politik membuat pembelian tersebut telah menyebabkan skandal besar di dalam negeri dan tuduhan korupsi yang meluas.
Akibatnya, kini India belum menunjukkan minat untuk mengakuisisi lebih lanjut pesawat tempur Rafale.