Intisari-Online.com -La Taddampare Puang ri Maggalattung merupakan putera dari La Lompiwanua dengan I Tenrilai.
Dicatat dalam lontaraq bahwa La Taddampare Puang Ri Maggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya, juga seorang negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian, dan ahli hukum.
Dia terkenal dalam menjalankan pemerintahan terkenal baik di dalam maupun di luar Kerajaan Wajo, Sulawesi.
Keberhasilannya dibuktikan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo yang bertambah luas, kehidupan ekonomi yang stabil, dan struktur pemerintahan berjalan baik sesuai fungsinya.
Namun sebelum itu, beliau diusir dari Palakka karena dipersalahkan melakukan tindakan kejahatan yang tidak mencerminkan sebagai bangsawan di Bone.
Beliau meninggalkan Bone dengan pengikutnya yang berjumlah sekitar 300 orang.
Ketika menyeberangi Sungai Walanae ditanggalkan pembelit pinggangnya dan dialirkannya, berkatalah:
“sekalipun kembali membelit punggungku setelah dihanyutkan arus deras, tidak akan kembali perbuatan jahatku, aku bertaubat yang disaksikan Yang Maha Kuasa."
La Taddampare menjadi Arung Matowa Wajo IV yang memerintah kerajaan antara tahun 1401-1521.
Sistem pemerintahan di Wajo pada mulanya dipimpin raja bergelar Batara Wajo, selanjutnya raja bergelar Arung Matowa.
Dalam hal pengangkatan pemimpin untuk mempersatukan kerajaan, maka Kerajaan Wajo mempunyai cara yang berbeda dengan kerajaan lain di Sulawesi Selatan seperti yang dikemukakan “bahwa para pemimpin kelompok pendiri kerajaan telah mencari pemersatu dikalangan mereka sendiri”.
Dalam mekanisme pemilihan raja, tidak seperti kerajaan lain yang didahului dengan turunnya to manurung.
Di Kerajaan Wajo dalam pemilihan raja dikenal istilah mangngelle pasa’, artinya turun ke lapangan mencari calon pemimpin.
Setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi raja, termasuk orang biasa, asalkan memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin, misalnya;jujur, berani, bertanggungjawab.
Pemilihan ini diawali dengan tudang sipulung yang menghadirkan petta ennengge (enam pimpinan wanua).
Nilai demokrasi yang diberlakukan di Kerajaan Wajo tersebut, sehingga melahirkan istilah maradeka to Wajoe, ade’nami napapoang (merdekalah orang Wajo, adatlah yang dipertuan).
Baca Juga: Alasan Aswawarman Disebut sebagai Wangsakarta dari Kerajaan Kutai
La Taddampare diangkat sebagai Arung Matowa sebagaimana kehendakrakyat:
"Engkau tidak sudi, janganlah engkau tidak mau, engkaulah yang dikehendaki oleh Tuhan yang Maha Esa membawa ke muka orangWajo."
"Hindarkanlah mereka yang tidak baik, timbulkanlah mereka dalam kebaikan, engkau mengusahakan agar engkau bersama rakyatsampai kepada yang baik."
La Taddampare akhirnya bersedia menjadi Arung Matowa IV dengan menyepakati traktak bersama masyarakat Wajo.
Adapun 4 pokok dari traktat tersebut adalah:
1. Arung Matowa harus menjaga masyarakat Wajo dari bahaya musuh;
2. Arung Matowa harus menjaga kecukupan makanan dalam negeri;
3. Arung Matowa harus menghindarkan warganya dari saling membunuh, dan memberikan kemungkinan adanya pertimbangan yang adil terhadap kejahatan dan adanya pengampunan;
4. Bahwa didalam perkara terjamin adanya pertimbangan yang adil.
Bilamana Arung Matowa tidak memenuhi salah satu pokok perjanjian tersebut, maka dapat diganti.
Setelah La Taddampare dilantik menjadi Arung Matowa IV, mulailah melaksanakan pemerintahannya yang menggantikan La Tenri Umpu Arung Matowa II.
(*)