Intisari-Online.com – Wang Cong’er adalah wanita yang tinggal di China pada abad ke-18 Masehi.
China pada abad ke-18 bukanlah tempat yang mudah bagi mereka yang lahir dalam kemiskinan, terutama wanita.
Dan di tempat inilah Wang Cong’er dilahirkan, sekitar tahun 1777 di provinsi Hubei, China Tengah, dari keluarga petani miskin.
Tidak ada uang untuk sewa, dan keluarga terpaksa meminjam dengan bunga tinggi, ketika mereka tidak bisa membayar, maka keluarga-keluarga itu diusir dari tanah mereka, mengakibatkan pengemis ada di mana-mana.
Ayahnya meninggal ketika Wang Cong’er masih muda, meninggalkan ibunya yang mencoba menghasilkan uang dengan cara apa pun yang dia bisa.
Ibunya mengambil cucian dan menjahit dan mempekerjakan dirinya sebagai pembantu rumah tangga, tetapi masih tidak bisa juga memberi makan keluarga.
Wang Cong’er terpaksa mengemis dan sering pergi tanpa makanan atau sepatu dan hanya berpakaian compang-camping.
Ketika dia berusia tujuh tahun, ibunya mengizinkannya bergabung dengan sekelompok penghibur keliling, yang mengajarinya akrobat dan seni bela diri.
Maka Kung Fu menjadi seni bela diri yang menjadi keahliannya, dan merupakan dasar dari semua bela diri Timur.
Kung Fu melatih disiplin fisik dan mental, serta mengajarkan spiritualitas dan filisofi Buddhis pada Wang Cong’er.
Dia bisa menguasai tuntutan fisik dan mental dari disiplin ini yang sangat langka bagi seorang wanita pada waktu itu, membuatnya sangat dihormati di antara teman-temannya.
Wang Cong’er bepergian dengan grup itu di seluruh negeri selama delapan tahun dan mereka berbagi keuntungan dari pertunjukan mereka secara merata.
Meskipun dia dihormati di antara rombongan, dalam masyarakat Tiongkok Wang Cong'er dianggap sebagai bagian bawah tiang totem karena dia adalah seorang wanita jalanan.
Ketika dia berusia enam belas tahun, dia melawan serangan dari sekelompok pria yang akan memperkosanya atau lebih buruk lagi ketika dia dibantu oleh seorang pria yang lewat yang melihat keributan.
Pria ini adalah Qi Lin, pejabat pemerintah yang dihormati di Kota Xiangyang, tetapi dia memiliki rahasia.
Dia adalah anggota Masyarakat Teratai Putih, yang dianggap memiliki aliran sesat dan organisasi subversif yang memimpin pemberontakan melawan pemerintah.
Wang Cong'er bergabung dengan Masyarakat Teratai Putih dan akhirnya menikah dengan Qi Lin, yang kemudian mereka merencanakan pemberontakan melawan kekaisaran Qing yang korupsi.
Pada saat itu, terjadi ledakan populasi, namun hanya ada sedikit makanan dan tanah untuk dibagikan kepada sedikit orang.
Penasihat kaisar yang korupsi menaikkan pajak dan suap, serta korupsi terjadi di mana-mana, yang tidak bisa membayar disiksa oleh preman bersenjata kaisar.
Para petani miskin di wilayah itu kemudian berbondong-bondong mengikuti kelompok Masyarakat Teratai Putih dengan harapan dapat menggulingkan rezim yang menindas.
Namun, ketika kelompok Masyarakat Teratai Putih ini jumlahnya membengkak, rahasia pun terbongkar, rupanya tanggal penetapan untuk memberontak telah dikhianati oleh mata-mata.
Tentara kaisar pun menunggu mereka dan Qi Lin terperangkap dalam jebakan, yang hanya bisa dilihat Wang Cong’er tanpa daya ketika suaminya ditangkap dan dieksekusi.
Dia hanya bisa sedih dan ingin bunuh diri, serta berlindung di sebuah biara, dan akhirnya memutuskan untuk mengatasi kesedihannya dengan memimpin Masyarakat Teratai Putih untuk membalaskan dendam suaminya dan mengobarkan revolusi yang dia yakini.
Wang Cong’er kemudian memotong rambutnya dan mengenakan jubah putih, warna berkabung China, dan menjadi jenderal tentara pemberontak.
Dia mempersiapkan secara metodis untuk setiap serangan bersenjata, dan pasukannya pun bertambah menjadi 20.000.
Para prajuritnya ini sangat menyukainya karena Wang Cong’er mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan kembali tentara yang terluka dan merobek pakaiannya untuk perban bagi yang terluka.
Siapa pun yang tidak bisa berjalan, menunggang kudanya, lalu Wang Cong’er memilih berjalan.
Wang Cong’er memimpin dari depan, yang membuat pasukannya sangat menyukainya.
Pasukan ini memperoleh kemenangan demi kemenangan melawan Qing yang tidak siap.
Menurut legenda, Wang Cong’er pergi berperang dengan pedang di masing-masing tangannya dan membunuh dua komandan militer musuh yang brilian, melansir historynaked.
Dia ahli dalam serangan gerilya, memimpin pasukan petani, wanita, dan istri petani menuju kemenangan.
Pasukannya terhubung dengan pemberontakan petani lainnya, hingga membengkak menjadi 100.000 tentara.
Dia mencoba meyakinkan para pemimpin tentara lainnya untuk menggunakan taktik gerilya, namun mereka menolak.
Wang Cong’er kemudina memutuskan untuk meninggalkan mereka dan membawa 20.000 tentaranya untuk bertemu dengan tentara kaisar yang berjumlah hampir 100.000
Dia disergap oleh tentara Kekaisaran di Huaishugou, dan sebagian besar tentara pemberontak yang bersamanya terbunuh.
Wang Cong'er melarikan diri dengan beberapa pengikut ke medan berbukit dan mendaki gunung.
Memilih kematian daripada aib, dia mengambil panji Teratai Putih di tangannya dan melompat ke kematiannya, diikuti oleh teman-temannya, ketika itu dia baru berusia dua puluh dua tahun.
Meski pemberontakan itu gagal, namun Wang Cong’er dikenang karena akal, keberanian, keberaniannya di tengah kesulitan.
Apa yang dilakukannya mengilhami pemberontakan, yang akhirnya menjatuhkan Kekaisaran China.
Kehidupan Wang Cong’er diidealkan, dari pemberontak menjadi pahlawan wanita, bahkan dibandingkan dengan Hua Mulan yang legendaris, yang keduanya sosok pejuang wanita yang tangguh.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari