Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M.
Pergantian sistem penanggalan ini tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 menjadi tahun 1, tetapi meneruskannya dengan berbagai penyesuaian.
Sistem perhitungan lama yang berdasarkan matahari diganti dengan perhitungan berdasarkan pergerakan bulan, seperti penanggalan Hijriah.
Penanggalan dan bulan memakai sistem Islam, tetapi angka tahun dan namanya tetap memakai sistem Jawa.
Maka jadilah nama bulan tahun Jawa Islam menjadi Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, Besar.
Nama bulan tersebut mirip dengan urutan kalender Hijriyah yakni Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.
Baca Juga: Sumber Sejarah Kerajaan Majapahit yang Masih Utuh, Apa Saja Semuanya?
Selain itu, sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari.
Yang pertama adalah siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari.
Pemberian nama hari itu menyerap dari bahasa Arab, di antaranya Ahad atau Minggu, Isnain atau Senin, Tsalasa atau Selasa, Arba’a atau Rabu, Khamisi atau Kamis, Jum‘ah atau Jumat, dan Sab’ah atau Sabtu.
Yang kedua adalah siklus pancawara, yang terdiri dari lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR