Intisari - Online.com -Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan Islam terkuat di Nusantara setelah peradaban Hindu-Buddha runtuh.
Namun sejarah kerajaan ini juga terbilang kelam.
Terlebih mengenai kisah kekejaman Amangkurat I yang membunuh lebih dari 6000 ulama beserta keluarga mereka.
Kemudian atas nama kekuasaan, Amangkurat I tega membunuh adik dan ayah mertuanya sendiri.
Babad Tanah Jawi menggambarkan masa pemerintahannya penuh dengan rasa was-was, cemas dan takut yang tidak hanya dirasakan pembesar istana tapi juga rakyat jelata.
“Pada saat itu perilaku Sri Baginda berbeda dari yang biasa; sering menghukum dengan keras, dan terus-menerus melakukan kekejaman.”
Kemudian Serat Jaya Baya menggambarkan Amangkurat I sebagai Kalpa sru semune kenaka putung atau "masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus".
Masa lalim berarti kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" artinya banyaknya panglima yang dibunuh.
Puncak kekejamannya adalah di alun-alun Plered, Kesultanan Mataram di tahun 1647, dua tahun setelah ayah Amangkurat I, Sultan Agung, wafat.
Amangkurat I memerintahkan agar semua ulama yang ada di wilayah Kerajaan Mataram.
Semua ini berawal dari rasa cemas Amangkurat I yang kemudian menimbulkan dendam.
Ia cemas akan kehilangan kekuasaan yang terus menghantuinya.
Keputusan menghabisi para ulama tidak datang tiba-tiba, Raja menyepi sendirian dulu di pendopo istana.
Pikirannya suntuk akibat memikirkan siasat untuk mempertahankan tahta, karena dua hari sebelumnya adiknya yang bernama Raden Mas Alit sudah melakukan kudeta.
Namun kudeta itu gagal dan Alit tewas terbunuh oleh pasukan Amangkurat I.
Kemudian setelah menemukan siasat, Amangkurat I memanggil empat orang pembesar keraton guna menghadap dirinya, dan kepada keempat pejabat kepercayaannya itu raja mengutarakan niatnya.
Keempat orang yang ia panggil adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wiranata.
Ia menyebutkan niatnya balas dendam agar bisa tereksekusi dengan baik.
Sejarawan H.J. de Graff mengatakan dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961) jika Raja berpesan agar tidak ada seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram lolos dari aksi kejam itu.
Akhirnya segala persiapan dilakukan untuk eksekusi itu, nama ulama dan keluarganya yang menjadi target operasi harus dicatat dan juga alamat-alamat mereka.
Amangkurat I merasa langkah ini efektif agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.
Kemudian ketika hari pelaksanaan eksekusi tiba, anak buah keempat orang kepercayaan raja disebar ke empat penjuru mata angin.
Aba-aba dimulainya aksi pembunuhan ditandai dengan letusan meriam dari istana.
Eksekusi berjalan sangat lancar dan kurang dari 30 menit sebanyak 6000 ulama tewas ditikam para serdadu yang dipimpin oleh keempat orang kepercayaan raja.
Baca Juga: Bagaimana Proses Berdirinya Kerajaan Mataram Islam dan Keruntuhannya
Sejarawan van Goens menulis, "Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.”
Juga ditulis bahwa selama aksi pembunuhan berlangsung, raja mengurung diri di istanah.
Dia bertingkah seolah tidak menghetahui apa yang terjadi di luar istana.
Setelah pembantaian selesai, hari berikutnya raja tampil di muka umum dengan wajah marah dan terkejut.
"Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam. Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Sunan,” catat van Goens.
Ulama dituduh Amangkurat I bersekongkol membunuh adiknya, Pangeran Alit.
Tuduhan itu seolah-olah membenarkan jika pembantaian terhadap ulama sebagai balasan setimpal atas kematian adiknya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini