Ia sudah seperti selebritas, dan para pedagang menyalami serta berusaha memegangnya.
Ada juga Severin Muengo yang di jalan kerap diikuti oleh anak-anak yang memanggil namanya.
Ia mengatakan ia bangga akan itu dan merasa menjadi orang terkaya dan pakaian mahal membuatnya merasa seperti di surga.
Muengo dengan bangga memamerkan karung-karung berisi dasi dan syal serta puluhan setelan jas yang menggantung di empat sisi dinding ruang penyimpanan baju di rumahnya.
Ia mengaku meminjam uang sebesar USD 6.000 - 8.000 untuk membeli baju bermerk (Rp 86 juta - Rp 115 juta).
Namun ia tidak mengatakan gaya hidupnya sebagai Sapeur atau uang yang ia pinjam dari bank untuk membeli pakaian-pakaian mahal itu kepada keluarganya.
La Sape telah berlangsung sejak akhir tahun 1980-an, seperti dilansir dari New York Times, harga busana Sapeurs rata-rata tiga kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka.
Bagi Sapeurs yang tidak mampu membeli busana, ada jasa penyewaan baju, sedangkan untuk yang punya uang biasa membeli baju di sebuah toko yang menjual barang bermerek asal Paris contohnya Yves Saint Laurent atau Yohji Yamamoto.
Toko itu biasanya dimiliki oleh seorang Sapeurs yang kerap datang ke Paris guna memborong busana untuk dijual kembali.
Sapeurs di Kongo punya prinsip sapologie, yang artinya ajaran jika Sapeurs tidak melakukan kekerasan dan ketidakadilan, tetap bahagia dan tampil elegan walaupun tidak cukup makan.
KOMENTAR