Intisari - Online.com -Jika Anda disuruh memilih antara fashion dan kebutuhan makanan, mana yang Anda pilih?
Sesuai dengan tingkat kebutuhan, kebutuhan pangan adalah kebutuhan primer.
Tanpa makan orang tidak bisa mendapatkan energi dan tidak bisa beraktivitas.
Fashion bukanlah kebutuhan primer meskipun pakaian juga termasuk kebutuhan primer.
Namun kebanyakan orang berpikir jika tidak bisa berpakaian mahal maka menggunakan pakaian biasa tidak apa-apa.
Sayangnya, hal ini berbeda dengan pola pikir kelompok masyarakat di suatu sudut dunia, tepatnya di Kongo.
Di negara yang bahkan banyak warga yang merasa seperti budak di negara miskin karena orang-orang di sekitarnya harus susah payah mendapatkan air bersih walaupun mereka hidup di dekat sungai Kongo, ternyata ada orang-orang Sapeurs.
Sapeurs adalah julukan bagi komunitas La Sape, singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People, sebuah komunitas pecinta fesyen, seperti dikutip dari film dokumenter The Congo Dandies dari Russia Today (RT).
Para Sapeurs ini juga tidak punya pasokan air di rumahnya, tapi selama mereka memiliki baju bermerk seperti Yves Saint Laurent atau Dolce & Gabbana, mereka tidak peduli dengan hal yang lain.
Satu hal yang mereka pikirkan adalah tampil dengan gaya.
Para Sapeurs berjalan di kawasan kumuh Brazzaville dengan setelan jas warna warni, topi, sepatu kulit, kacamata hitam serta payung.
Mereka meniru gaya para pria kelas atas Eropa yang mengenakan busana dan aksesori dengan material dan potongan yang tepat.
Kemudian tiap akhir pekan mereka para Sapeurs berkumpul di tepi jalan yang dipadati pedagang kaki lima.
Mereka memamerkan busana yang mereka kenakan dan saat itulah mereka saling bersaing lewat pakaian mahal mereka.
Lantas bagaimana mereka di mata masyarakat yang lainnya?
Ternyata warga di luar La Sape menganggap Sapeurs berpenampilan baik.
Namun itu saja, mereka hanya mendapat pengakuan jika mereka keren, tidak ada hadiah bagi sosok yang pakaiannya paling bagus.
Menyedihkannya, karena pakaian mereka yang sangat kontras dengan sekitar mereka membuat mereka dielu-elukan di tempat umum, seperti yang dialami oleh Maxime Pivot.
Maxime Pivot pernah menyandang predikat Sapeurs terbaik, dan ketika ia datang ke pasar, para pedagang menyorakkan namanya.
Ia sudah seperti selebritas, dan para pedagang menyalami serta berusaha memegangnya.
Ada juga Severin Muengo yang di jalan kerap diikuti oleh anak-anak yang memanggil namanya.
Ia mengatakan ia bangga akan itu dan merasa menjadi orang terkaya dan pakaian mahal membuatnya merasa seperti di surga.
Muengo dengan bangga memamerkan karung-karung berisi dasi dan syal serta puluhan setelan jas yang menggantung di empat sisi dinding ruang penyimpanan baju di rumahnya.
Ia mengaku meminjam uang sebesar USD 6.000 - 8.000 untuk membeli baju bermerk (Rp 86 juta - Rp 115 juta).
Namun ia tidak mengatakan gaya hidupnya sebagai Sapeur atau uang yang ia pinjam dari bank untuk membeli pakaian-pakaian mahal itu kepada keluarganya.
La Sape telah berlangsung sejak akhir tahun 1980-an, seperti dilansir dari New York Times, harga busana Sapeurs rata-rata tiga kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka.
Bagi Sapeurs yang tidak mampu membeli busana, ada jasa penyewaan baju, sedangkan untuk yang punya uang biasa membeli baju di sebuah toko yang menjual barang bermerek asal Paris contohnya Yves Saint Laurent atau Yohji Yamamoto.
Toko itu biasanya dimiliki oleh seorang Sapeurs yang kerap datang ke Paris guna memborong busana untuk dijual kembali.
Sapeurs di Kongo punya prinsip sapologie, yang artinya ajaran jika Sapeurs tidak melakukan kekerasan dan ketidakadilan, tetap bahagia dan tampil elegan walaupun tidak cukup makan.
Mereka juga pantang mengenakan busana tiruan karena dianggap menghina dan tidak dibenarkan.
Sapologie kontras dengan hal yang terjadi pada Sapeurs yang bermigrasi ke Paris.
Sapeurs di Paris inilah cikal bakal La Sape yang menjadi inspirasi gaya busana para Sapeurs di Brazzaville.
Hannah Rose Steinkopf-Frank, penulis "La Sape: Tracing the History and Future of the Congos 'Well-Dressed Men" (2017) menyebut pada tahun 1976 Jean Marc Zeita, remaja pria dari Kongo, pindah ke Paris.
Ia kemudian membentuk perkumpulan imigran muda dari Kongo bernama Aventuries yang meniru gaya penampilan orang Perancis.
Gaya itulah yang kemudian dibawa pulang ke kampung halamannya agar mereka dianggap sukses.
Mereka turut membawa berbagai busana dan majalah untuk referensi gaya.
Sayangnya, para Sapeur di Paris bukanlah orang kaya.
Agar bisa membeli pakaian mahal mereka membayar dengan terlibat dalam perdagangan narkoba.
Hannah mengutip makalah "Dream and Drama: The Search for Elegance among Congolese Youth" dan mengatakan jika para Sapeur di Paris memanfaatkan pakaian rapi sebagai citra kesuksesan.
Hal ini tidak diketahui masing-masing Sapeur di Kongo, dan para Sapeur punya cerita berbeda mengenai asal usul La Sape.
Ada yang menganggap La Sape muncul di zaman koloni Perancis ketika tuan tanah memberi upah kepada buruh dalam bentuk pakaian.
Hector Mediavilla, fotografer yang pernah mendokumentasikan Sapeur di Kongo, mengatakan jika warga lokal meniru gaya penampilan orang Perancis saat mereka dijajah.
“Bergaya ialah salah satu cara mengekspresikan diri dalam situasi yang serba terbatas. Sapeurs bicara tentang bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri di tengah situasi buruk,” katanya.
Pendapat lain menyebut La Sape dibentuk oleh Papa Wemba, musisi Kongo yang ingin tampil beda dari musisi lain.
Oleh karena itu ia berbelanja barang bermerek di kota Paris dan tampil gaya dalam busana ribuan dolar.
Selain menyanyi, ia kerap berpesan kepada kaum muda agar selalu tampil rapi dan bersih.
Kepopuleran Papa Wemba jadi salah satu pengaruh utama bagi kelangsungan La Sape.
Para Sapeur mengidolakan Papa Wemba.
Pivot meneruskan semangat Papa Wemba dengan mendirikan kursus calon Sapeurs di Kongo.
Namun tidak semua Sapeurs nyaman dengan gaya mereka.
Seorang Sapeur dari Kinshasa yang pindah ke London, Aime Champagne, mengatakan ia tidak mau lagi berpenampilan layaknya orang kaya ketika ia serba kekurangan.
Namun ia tetap terpaksa melakukannya agar tidak mendapat protes dari rekan-rekannya di Kongo.
Pada Aljazeera Charlie Schengen, Sapeur yang juga tinggal di London berkata bahwa La Sape telah membuat ia merasa kehilangan tradisi Kongo.
“Ini sebuah kebodohan. Orang tidak mau sekolah dan hanya ingin belanja baju.”