Advertorial

Miskin dan Tinggal di Kawasan Kumuh, Komunitas Ini Rela Habiskan Uangnya Demi Pakai Pakaian Branded, Ini Alasannya

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M
Mentari DP

Tim Redaksi

Fenomena ini mengejutkan, mereka yang mengidolakan gaya fashion tertinggi ternyata berharap dengan kehidupan yang lebih baik.
Fenomena ini mengejutkan, mereka yang mengidolakan gaya fashion tertinggi ternyata berharap dengan kehidupan yang lebih baik.

Intisari-online.com - Besar pasak daripada tiang.

Mungkin begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan komunitas ini.

Mereka dikenal sebagi Sapeur, La Sape, atau Sapology, Societe des Ambianceurs et des Personnes Elegantes(Society of Tastemakers dan Elegant People)yang berbasis di kawasan kumuh Republik Kongo, di kota Brazzaville.

Mereka berkumpul di jalan-jalan dengan mengenakan pakaian branded, memakai tongkat, dan merokok cerutu.

Baca Juga: Berambisi Berperang di Garda Depan, Tentara Infanteri Wanita Ini Ingin Jadi yang Pertama Bergabung di Angkatan Darat

Pakaian yang mereka kenakan berwarna-warni, bahkan sekelas dengan orang-orang kelas atas seperti Guci, Luis Vuitton, Balenciaga, dll.

Fenomena ini mengejutkan, mereka yang mengidolakan gaya fashion tertinggi ternyata berharap dengan kehidupan yang lebih baik.

Cara hidup pada Sapeurmerupakan bagian dari apa yang mereka sebut “ilmu biologi” yang tidak dapat ditegaskan sebagai agama, aliran pemikiran atau gerakan politik.

Praktek sapologi adalah suatu bentuk pelarian, yang oleh banyak pengamat dikatakan memungkinkan mereka untuk melupakan kemiskinan yang melumpuhkan dan masalah ekonomi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Baca Juga: Dikenal Licin dan Jarang Muncul, Ternyata Lokasi Persembunyian Pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi Terungkap Gara-gara Ini

Jas dan cerutu adalah simbol kemewahan dan kekayaan yang mewakili tekad dan ambisi untuk gaya hidup Eropa yang ideal,kostum itu menerangi Brazzaville dan kota-kota tetangga, menawarkan secercah harapan dan kemakmuran bagi banyak orang-orang Kongo.

Selama 1960-an dan 70-an Sapeur bertemu dengan kostum mereka secara rahasia, untuk mengungkapkan ekpresi kebebasan rezim yang keras.

Serta berusaha menyingkirkan Kongo dari semua pengaruh kolonial dengan jalan Sapeur.

Pakaian sapeurs dianggap sebagai tindakan pemberontakan ideologis, yang menentang larangan Sese Seko pada pakaian gaya Barat.

Presiden ingin rakyat Kongo mengenakan pakaian tradisional, yang dikenal sebagai "acabac" untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap autentifikasi identitas mereka.

Namun, Sapeur menolak hal itu.

Saat ini sebagian besar para Sapeur adalah bekerja sebagi buruh bangunan, sopir, hingga pengutil, tak jarang mereka melakukan tindakan nekat seperti mencuri, meminjam uang, hanya demi untuk membeli pakaian bermerek.

Baca Juga: Ketahuan Atasan Tengah Memasak Nasi di Kantor Demi Menghemat Uang, Alasan di Balik Tindakan Pria Ini Sungguh Mulia

Mimpi para Sapeur

Bagi para Sapeur mereka memiliki mimpi kecil dan sederhana untuk mendapatkan visa dan pindah ke Paris, pusat mode dunia.

Mimpi inimenjadi kenyataan bagi sedikit orang, saat mereka kembali ke ibukota Kongodengan mode terbaru, mereka berjalan di Brazzaville untuk membuat tetangganya iri.

Meski demikian, kesederhanaan adalah kuncinya, dan belajar cara berpakaian dengan cara yang anggun dan bersahaja, dengan berpakaian tidak lebih dari tiga warna.

Hal itu adalah rahasia kesuksesan pakaian itu.

Tapi itu tidak semua untuk dipertunjukan, sapeur juga diharapkan memiliki sikap sopan yang sempurna.

Menjadi sapeur berarti memahami semua kode perilaku yang diharapkan dari seorang pria.

Dia juga harus belajar cara berdiri dan berjalan dengan benar, serta belajar cara berbicara lancar dalam bahasa Prancis.

Baca Juga: Penasaran dengan Tangga di Tengah Jalan di Riung Gunung Puncak? Ternyata Jalan Menuju Bangunan yang Megah Ini Terungkap Lewat Foto ‘Jadul’

Artikel Terkait