Penyebab api lama padam ternyata adalah karena PT BMH tidak memiliki sarana dan prasarana untuk memadamkan api, atau yang sering disebut sebagai menara api.
BMH juga ternyata menyediakan enam personel pasukan pemadam yang bekerja dengan dua sepeda motor usang dan tinggal secara sederhana di mes yang ala kadarnya, menurut laporan-laporan mengenai pengusutan kasus ini.
Menanggapi gugatan Perdata dari KLHK, sebuah sidang lapangan di lokasi kebakaran digelar oleh Hakim Pengadilan Negeri Palembang pada November 2015.
Mengejutkannya dalam sidang lapangan itu berdiri megah menara api setinggi 20 meter, kemudian sudah ada juga mes besar lengkap dengan gudang pemadam kebakaran, serta puluhan anggota pasukan pemadam berseragam lengkap dilengkapi mobil double gardan.
Kemegahan sarana-prasarana itu otomatis menggugurkan gugatan Perdata KLHK yang menyebut PT BMH lalai mengelola izin mereka sendiri, dan akhirnya hakim ketua saat itu, Parlas Nababan, membebaskan PT BMH dari ancaman membayar ganti rugi material dan pemulihan lingkungan sebesar Rp 7,9 triliun.
KLHK mengajukan banding yang kemudian dikabulkan oleh hakim, tapi nilai ganti rugi turun sampai hanya Rp 78 miliar saja.
Tim ahli yang salah satunya merupakan guru besar perlindungan hutan Fakultas Kehutanan IPB menyarankan KLHK mengajukan permohonan kasasi, yang disetujui oleh KLHK.
Namun KLHK tidak kunjung mengirim dokumen gugatan sampai batas permohonan kasasi terlewati.
Akhirnya putusan yang diambil didasari keputusan banding.
Gugatan pidana juga berakhir lebih nahas lagi karena sejak September 2015 ketika Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan manajemen BMH sebagai tersangka pembakar lahan konsesinya sendiri, penanganan kasus itu tidak jelas.
KOMENTAR