Penulis
Intisari - Online.com -Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dan adiknya Kaesang Pangarep dilaporkan ke KPK oleh Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun.
Keduanya dilaporkan terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) serta kolusi dan nepotisme (KKN).
Ubed menyebut keduanya punya kaitan dengan perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan yaitu PT BMH.
PT BMH sendiri adalah anak usaha grup PT SM yang diduga terlibat pembakaran hutan.
“Kami minta kepada KPK untuk menyelidiki dan meminta kepada KPK agar menjadi terang benderang dan bagaimana kemudian bila perlu Presiden dipanggil untuk menjelaskan posisi ini,” ucap Ubedilah di Gedung Merah Putih KPK sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Senin, (10/1/2022).
Laporan dibuat Ubed ketika tahun 2015 manajemen PT BMH menjadi tersangka pembakaran hutan, tapi penanganan kasus pidana PT BMH itu tidak jalan sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat melalui jalur perdata dengan menuntut ganti kerugian RP 7,9 triliun.
Namun, dalam perkembangannya, yakni di Februari 2019, Mahkamah Agung (MA) hanya mengabulkan tuntutan sebesar Rp78 miliar.
“Itu terjadi pada Februari 2019 setelah anak Presiden membuat perusahaan gabungan dengan anak petinggi perusahaan PT SM,” jelas Ubedilah.
Ubedilah semakin mencurigai KKN sangat jelas melibatkan Gibran, Kaesang serta anak petinggi PT SM karena selanjutnya ada dana penyertaan modal dari perusahaan ventura.
“Dua kali diberikan kucuran dana. Angkanya kurang lebih Rp 99,3 miliar dalam waktu yang dekat. Dan setelah itu kemudian anak Presiden membeli saham di sebuah perusahaan yang angkanya juga cukup fantastis, Rp 92 miliar,” ungkap Ubedilah.
“Dan itu bagi kami tanda tanya besar, apakah seorang anak muda yang baru mendirikan perusahaan dengan mudah mendapatkan penyertaan modal dengan angka yang cukup fantastis kalau dia bukan anak Presiden,” tambahnya.
PT BMH
PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terbukti bersalah dalam kebakaran hutan dan lahan seluas 20 ribu hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir tahun 2014.
PT BMH adalah anak usaha Sinar Mas Group yang dituntut ganti rugi sebesar Rp 78,5 miliar dari tuntutan sebelumnya sebesar Rp 7,9 triliun.
Gugatan perdata pemerintah terhadap BMH ditolak Pengadilan Negeri Palembang pada Desember 2015 karena menurut majelis hakim tidak ada kerugian negara atas kebakaran seluas 20 ribu hektar di lahan konsesi PT BMH yang terjadi tahun 2014 itu.
Tuntutan Rp 7,9 triliun itu adalah tuntutan guna membayar ganti rugi ekologis dan biaya pemulihan, tapi pada 12 Agustus 2006 Pengadilan Tinggi Palembang mengabulkan banding KLHK atas putusan Pengadilan Negeri Palembang yang membebaskan PT BMH dari gugatan.
Meski begitu biaya ganti rugi yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi untuk PT BMH hanyalah 1 persen dari total gugatan KLHK sebesar Rp 7,9 triliun itu.
Keputusan kasasi akhirnya keluar pada 2019 melalui keputusan nomor 51/PDT/2016/PT.PLG
Dalam point pertimbangannya, hakim mengemukakan bahwa perusahaan tersebut dengan sengaja membakar hutan demi membuka lahan.
"Bahwa setiap peristiwa kebakaran lahan, termasuk di areal milik Tergugat, tidak mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa melibatkan 3 (tiga) faktor yaitu bahan bakar, oksigen dan didukung oleh adanya sumber penyulutan, ketiga faktor ini dikenal dengan nama segitiga api atau fire triangle," demikian bunyi pertimbangan itu.
Dalam putusannya, majelis hakim juga melihat bahwa akibat kebakaran hutan tesebut, telah memberikan keuntungan kepada perusahaan karena tak perlu mengeluarkan sejumlah biaya.
"Bahwa selain itu, terbakarnya lahan sama sekali tidak menimbulkan kerugian bagi Tergugat, bahkan justru memberikan keuntungan secara ekonomis. Dengan terbakarnya lahan, Tergugat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli kapur yang digunakan untuk meningkatkan pH gambut dan biaya pengadaan pupuk dan pemupukan karena sudah digantikan dengan adanya abu dan arang bekas kebakaran, serta biaya pengadaan/pembelian pestisida untuk mencegah ancaman serangan hama dan penyakit. Tergugat juga diuntungkan karena jelas akan memangkas biaya operasional seperti upah tenaga kerja, bahan bakar, serta biaya-biaya lain yang dibutuhkan apabila pembukaan lahan dilakukan dengan cara PLTB sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terbakarnya lahan juga akan menguntungkan dari segi waktu karena proses “pembersihan” lahan menjadi lebih cepat sehingga dapat segera ditanami dan mudah dikerjakan."
Hakim juga menyatakan, berdasarkan keterangan ahli, telah terjadi kerusakan gambut pada lahan yang terbakar itu.
"Bahwa mengacu kepada fakta-fakta diatas, terbukti terjadinya peristiwa kebakaran tersebut memang diinginkan oleh Tergugat sendiri. Dengan adanya faktor “maksud” dan “tujuan” yang inherent dalam peristiwa kebakaran tersebut, maka dengan demikian terbukti pula unsur kesengajaan Tergugat dalam kebakaran tersebut."
"Bahwa oleh karena Tergugat memiliki kepentingan atas terbakarnya lahan yang dengan demikian membuktikan unsur kesengajaannya, maka Tergugat wajib bertanggungjawab atas kerusakan tanah gambut yang ditimbulkan oleh kebakaran di atas lahan perkebunan milik Tergugat."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini