Tergantung pada status sosial keluarga anak laki-laki itu, hampir 100 atau lebih dari 300 orang berkumpul untuk menyaksikan acara tersebut.
Wanita suku Hamer, mengenakan pakaian tradisional dan dihiasi dengan lonceng di sekitar kaki mereka, mulai menari bersama dan memainkan terompet dengan keras.
Ritual berubah ketika para wanita, untuk gadis-gadis muda tidak bolhe mengikuti bagian ritual ini, mulai menunjukkan pengabdian dan dorongan mereka kepada anak laki-laki yang akan mengambil bagian dalam ritual lompat banteng.
Di sela-sela menari, mereka mendekati ‘pria’ yang baru saja menjalani ritual, memohon agar mereka mencambuk punggung mereka dengan tongkat birch.
Keluarga pihak ibu dari anak laki-laki mengenakan ikat pinggang manik-manik di pinggang mereka dan biasanya tidak diharapkan untuk mengambil bagian dalam ritual ini.
Setelah dicambuk berulang kali, para wanita menolak untuk mundur, malah bersaing satu sama lain.
Para wanita percaya bahwa semakin besar rasa sakit yang mereka alami, semakin tinggi tingkat kesetiaan yang mereka tunjukkan kepada anak laki-laki itu; bekas luka yang tertinggal di tubuh mereka adalah simbol kesetiaan yang berhak mereka terima darinya.
Saat matahari terbenam mendekat, bocah lelaki itu bersiap-siap untuk salah satu hari terpenting dalam hidupnya.
Sesepuh dan pria yang telah melakukan ritual sebelumnya, tetapi belum menikah, mengumpulkan banteng yang dikebiri untuk upacara tradisional kedewasaan.
Sapi jantan diolesi dengan kotoran agar licin. Sebelum melompati ternak, biasanya anak laki-laki itu telanjang dan rambutnya dicukur sebagian.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR