Intisari - Online.com -Minggu lalu, CNN melaporkan jika intelijen Amerika Serikat (AS) telah mendapatkan informasi bahwa Arab Saudi membangun rudal balistik mereka.
Namun bukan AS yang diajak Arab Saudi mengembangkan senjata ini.
Melansir Asia Times, Arab Saudi meminta bantuan China.
Dulunya Arab Saudi telah membeli rudal balistik dari China, tapi belum pernah membangunnya sampai sekarang.
Gambar satelit dari pangkalan rudal Al Watah menunjukkan Arab Saudi telah memperluas pangkalan untuk juga menyertakan produksi mesin roket dan fasilitas tes, walaupun tidak jelas jika ada rudal yang diproduksi saat ini.
Pemerintah Saudi telah meminta bantuan dari Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat, cabang angkatan bersenjata China yang bertanggung jawab untuk persenjataan nuklir di darat.
Penasihat Saudi dan pejabat yang kenal dengan intelijen AS mengatakan pembicaraan antara Arab Saudi dan China telah berpindah ke tahap pembelian peralatan penting untuk memproduksi rudal balistiknya sendiri.
Rudal balistik mengikuti lintasan balistik atau busuk untuk mengirimkan hulu ledak konvensional atau nuklir pada target.
Ada fase penerbangan bertenaga yang membawa rudal ke lapisan atas atmosfer, fase penerbangan bebas tanpa daya, dan fase masuk kembali.
Sebagai tambahan, tahun lalu China juga membantu Arab Saudi membangun pembangkit pengayaan uranium sendiri di dekat Al Ula.
Gerakan ini tampaknya telah menikmati persetujuan diam-diam dari administrasi Trump, saat mereka tampaknya melewati undang-undang AS mengenai pemindahan teknologi sensitif AS ke Arab Saudi.
Arab Saudi juga terlibat dalam proses bernegosiasi kesepakatan kerja sama nuklir dengan AS, tapi ragu sepakat dalam larangan terkait pengayaan bahan bakar dan pengawasan internasional.
Pengayaan yang dilakukan di Al Ula adalah pengayaan yellowcake, yang merupakan langkah kritis membuat senjata nuklir.
Langkah ini merupakan langkah penting membuat uranium yang kaya, kunci penting untuk hulu ledak nuklir.
Arab Saudi pertama kali mendapatkan rudal balistik dari China tahun 1988 dengan pembelian DF-3A tahun itu.
Namun, DF-3A mulai ketinggalan zaman dengan pertama kali memasuki masa tugas tahun 1971, dan kini tidak akurat dan dilarang masuk ke lapangan peluncuran.
Arab Saudi mengikuti pembelian ini dengan kemudian membeli DF-21 di tahun 2007.
DF-21 mulai resmi memasuki medan perang pada 1991 dan merupakan rancangan yang lebih baru, membuat peluncuran rudal jauh lebih sulit untuk dideteksi dan dihentikan.
Sementara DF-3A dan DF-21 berkemampuan nuklir, tampaknya versi yang dijual China ke Arab Saudi telah dimodifikasi untuk membawa hulu ledak konvensional saja.
Karena alasan inilah mungkin AS secara diam-diam menyetujui penjualan senjata-senjata ini kepada sekutunya di Saudi.
Namun, Arab Saudi nantinya dapat memodifikasi rudal ini agar sesuai dengan hulu ledak nuklir.
Perkembangan ini telah menimbulkan kekhawatiran proliferasi nuklir, yang mengakibatkan prospek suram untuk negosiasi program nuklir dan rudal Iran dan eskalasi lebih lanjut dalam ketegangan Saudi-Iran.
Itu mungkin membuat sulit untuk membujuk Iran untuk mengurangi program nuklirnya, pengembangan rudal dan dukungan untuk proksi regionalnya di Timur Tengah jika melihat bahwa saingan berat Arab Saudi memiliki program nuklirnya sendiri dengan diam-diam, meskipun tidak mendapat persetujuan AS secara langsung.
Perlu dicatat bahwa Iran adalah negara pertama yang melakukan serangan terhadap fasilitas nuklir selama Perang Iran-Irak.
Namun, serangan langsung oleh Iran saat ini tidak masuk akal, mengingat keadaan angkatan udaranya yang sudah ketinggalan zaman dan ancaman pembalasan oleh AS dan sekutu Teluknya.
Mempertimbangkan kendala seperti itu, Iran dapat melakukan serangan terhadap pangkalan rudal Arab Saudi di Al Watah dan fasilitas kue kuning di Al Ula menggunakan roket, rudal, atau kawanan drone yang dioperasikan oleh proksinya di Gaza dan Yaman.
Juga, AS telah mendorong Kesepakatan Abraham yang bertujuan untuk menormalkan hubungan antara negara-negara Arab dan Israel.
Namun, langkah ini dapat ditafsirkan sebagai upaya AS untuk membentuk aliansi regional de facto melawan Iran.
Dengan Kesepakatan Abraham, AS telah secara efektif mengalihkan peran keamanannya ke kekuatan militer regional seperti Arab Saudi dan Israel, karena AS memfokuskan kembali upayanya untuk melawan China di Pasifik.
Dari sini dapat disimpulkan, program nuklir Arab Saudi dan Israel mungkin menggantikan pertahanan strategis yang dulunya disediakan oleh AS terhadap Iran.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini