Doyan Tumpahkan Darah di Berbagai Negara dengan Dalih Tegakkan Demokrasi, Amerika Serikat Kini Malah Disebut Sebagai Negeri Anokrasi, Gara-gara Trump?

May N

Editor

Anggota DPR AS Vicky Hartzler dan Mike Waltz dari Republik membagikan pizza kepada para pasukan Garda Nasional yang menjaga Gedung Capitol. Kerusuhan di Gedung Capitol menjadi tanda runtuhnya demokrasi di AS
Anggota DPR AS Vicky Hartzler dan Mike Waltz dari Republik membagikan pizza kepada para pasukan Garda Nasional yang menjaga Gedung Capitol. Kerusuhan di Gedung Capitol menjadi tanda runtuhnya demokrasi di AS

Intisari - Online.com - Amerika Serikat (AS) kini "semakin dekat dengan perang sipil dari yang kita semua percaya".

Hal ini disampaikan oleh anggota kunci dewan penasihat CIA.

Sementara itu sebuah analisis oleh Barbara F Walter, ilmuwan politik dan profesor di University of California di San Diego yang menjadi anggota Gugus Tugas Ketidakstabilan Politik ditulis dalam buku yang keluar tahun depan dan dilaporkan pertama kali oleh The Washington Post menyebut hal yang sama.

Di saat yang sama, tiga pensiunan jenderal menulis di The Washington post jika mereka "sangat khawatir mengenai perhitungan pemilihan presiden 2024 dan potensi kekacauan tersembunyi di dalam militer kami".

Baca Juga: Mengaku Saksikan Kekejaman Tentara Indonesia Saat Bantai Penduduk Timor Leste, Jurnalis Ini Beberkan Saat-Saat Mencekam Sembunyikan Rekaman Kotroversial Itu dari Indonesia

Kekhawatiran ini tumbuh di sekitar terbaginya politik yang diperkuat oleh penolakan mantan presiden Donald Trump untuk menerima kekalahan di pemilihan 2020.

Trump berbohong jika kekalahannya oleh Joe Biden disebabkan oleh kecurangan pemilu yang menyebabkan serangan mematikan terjadi di gedung Capitol AS pada 6 Januari 2021, yang mana Trump akhirnya dimakzulkan dan dibebaskan untuk kedua kalinya.

Hal inilah yang membuatnya bebas mencalonkan diri untuk pemilihan presiden 2024 mendatang.

"Kebohongan besar" ini juga menjadi penggerak pergerakan di antara anggota Republik untuk membatasi voting oleh kelompok yang condong ke Demokrat dan membuatnya lebih mudah untuk memenangkan pemilihan.

Baca Juga: Media Asing Soroti Putusan MK yang 'Halalkan' Pemblokiran Internet saat Demonstrasi di Papua, 'Demokrasi Indonesia Bisa Mundur'

Gerakan ini tetap tanpa perlawanan dari Demokrat yang terhalang oleh filibuster, yaitu aturan Senat yang menuntut supermayoritas untuk sebagian besar undang-undang.

Tambahan lagi, walaupun kandidat presiden dari partai Republik telah memenangkan pemungutan suara populer hanya sekali sejak 1998, partai Republik telah mengisi mahkamah agung dengan kaum konservatif yang melebihi jumlah kaum liberal 6-3, lewat permainan keras mereka.

Semua faktor ini dan lebih lagi termasuk pandemi yang telah menyebabkan perlawanan terhadap pemerintah, telah berkontribusi kepada analisis Walter.

Bulan lalu ia mencuit: "CIA sebenarnya memiliki gugus tugas yang dirancang untuk mencoba memprediksi di mana dan kapan ketidakstabilan politik dan konflik yang mungkin pecah di dunia. Tidak hanya diperbolehkan melihat AS. Artinya kita buta terhadap faktor risiko yang secara cepat muncul di sini."

Baca Juga: Indonesia Pun Kalah Telak Dari Timor Leste, Meski Menyandang Negara Miskin di Dunia, Timor Leste Justru Menjadi Negara Terbaik di Asia Tenggara Dalam Hal Ini

Buku di mana Walter melihat berbagai faktor risiko di AS, How Civil Wars Start, akan dirilis pada Januari.

Menurut The Post, wanita itu menulis: "Tidak ada yang ingin percaya jika demokrasi yang mereka cintai sedang menurun nilainya, atau menuju perang."

Namun "jika Anda seorang analis di negara asing melihat kejadian di Amerika dengan cara yang sama kau melihat kejadian di Ukraina atau Ivory Coast atau Venezuela, Anda akan mencentang beberapa hal, menilai masing-masing kondisi yang membuat perang sipil kemungkinan terjadi.

"Dan apa yang Anda temukan adalah AS, sebuah negara demokrasi yang berdiri lebih dari dua abad yang lalu, telah memasuki wilayah yang sangat berbahaya."

Baca Juga: Tak Ada Angin Tak Ada Hujan, Mantan Diplomat Ternama Singapura Ini Tiba-tiba Sebut Jokowi Jenius Sekaligus Kapitalis yang Gigih, Ini Alasannya

Walter menyimpulkan jika AS telah melewati tahapan "pra-pemberontakan" dan "konflik yang terbentuk" dan sekarang mungkin dalam "konflik terbuka", dimulai dari kekacauan Capitol.

Mengutip analitik yang digunakan oleh Center for Systemic Peace, Walter juga mengatakan AS telah menjadi "anokrasi".

Anokrasi adalah kondisi "suatu tempat antara demokrasi dan negara autokrasi".

AS telah menghadapi perang sipil dari 1861 sampai 1865 dan melawan negara-negara bagian yang memisahkan diri dalam upaya mempertahankan perbudakan.

Baca Juga: Terperangkap Status Negara Termiskin Sampai Terus Ditolak Jadi Anggota, Siapa Sangka Timor Leste Justru Bikin Negara-negara ASEAN Malu dengan Status Barunya Ini, Indonesia Saja Kalah

Perkiraan dari jumlah kematian bervariasi.

American Battlefield Trust menaruhnya pada angka 620 ribu dan mengatakan: "Diambil sebagai presentasi populasi saat ini, jumlah ini akan meningkat setinggi 6 juta jiwa."

Sidney Blumenthal, mantan penasihat Clinton yang kemudian menulis biografi untuk Abraham Lincoln, mengatakan: "Pemisahan tahun 1861 menerima pemilihan Lincoln sebagai hal yang adil dan sah."

Situasi sekarang, ujarnya, "kebalikan dari itu. Trump mempertanyakan pemilihan… hal itu menuntun pada krisis legitimasi yang baru."

Baca Juga: Di Indonesia Sudah Santer Lama, Kini Giliran Media Asing Soroti Kemungkinan Presiden Jokowi Menjabat Tiga Periode, Apakah Benar Akan Menjabat Tiga Periode?

Dengan partai Republik memegang tuas kekausaan sementara dalam pemilihan minoritas adalah faktor yang berkontribusi, Blumenthal mengatakan, "krisis ini menyebar bagaikan kanker, ke seluruh sistem sepanjang waktu, sehingga mungkin pemilihan tertutup akan diklaim menjadi salah dan penuh penipuan."

Blumenthal mengatakan ia tidak mengharapkan AS untuk masuk ke dalam perang sipil dan melibatkan banyak tentara.

Jika kelompok militan sayap kanan mencari cara mengikuti pemisahan pada 1860-an dan berupaya "meraih pagar federal dan kantornya dengan pakasaan", ujarnya, "Kurasa Anda bisa yakin itu akan selesai sangat cepat mengingat nilai sangat kuat di atas militer AS atas peran konstitusi dan non-politik mereka.

"…Namun karena proliferasi senjata, akan ada banyak orang bisa membawa senjata yang datang dari kelompok militan terorganisir, yang benar-benar bisa main hakim sendiri dan bias dengan agendanya, dan kita belum memasuki fase itu.

Baca Juga: Terjadi di Era Demokrasi Terpimpin dan Ditolak Angkatan Darat, PKI Menuntut Pemerintah Indonesia untuk Membentuk Angkatan Kelima dengan Tujuan Ini

"Mimpi buruk yang sebenarnya adalah konflik intensitas rendah."

Pensiunan jenderal yang memperingatkan konflik sekitar pemilihan berikutnya, Paul Eaton, Antonio Taguba dan Steven Anderson, kurang optimis mengenai tentara AS.

“Saat kita mendekati ulang tahun pertama pemberontakan mematikan di US Capitol,” tulis mereka, “kita … semakin khawatir tentang akibat dari pemilihan presiden 2024 dan potensi kekacauan mematikan di dalam militer kita, yang akan menempatkan semua orang Amerika di risiko parah.

“Singkatnya: Kami kedinginan memikirkan kudeta yang berhasil di lain waktu.”

Baca Juga: Pantas Saja Joe Biden Disalahkan, Misi AS di Afghanistan Justru Disebut-sebut Gagal Total Karena Ambisi Mantan Presiden AS untuk Penjarakan Saddam Hussein Lewat Perang Irak, Ini Sebabnya

Mengutip kehadiran di kerusuhan Capitol dari "sejumlah veteran dan anggota aktif militer yang mengganggu", mereka menunjukkan bahwa "lebih dari satu dari 10 dari mereka yang didakwa dalam serangan memiliki catatan layanan ".

Jajak pendapat telah mengungkapkan kekhawatiran serupa – dan peringatan. Pada bulan November, Lembaga Penelitian Agama Publik bertanya kepada para pemilih apakah mereka setuju dengan sebuah pernyataan: “Karena segala sesuatunya telah keluar jalur, patriot Amerika sejati mungkin harus menggunakan kekerasan untuk menyelamatkan negara kita.”

Jajak pendapat menemukan bahwa 18% responden setuju.

Di antara Partai Republik, bagaimanapun, angkanya adalah 30%.

Baca Juga: Begitu Percaya Diri Demokrasi Bisa Diekspor Layaknya Coca-Cola, AS Dipermalukan Gila-gilaan Oleh China di Afghanistan, Kini Malah Jadi Peta Perang China-AS Baru yang Kian Mengerikan

Di Twitter, Walter berterima kasih kepada Post karena telah meliput bukunya.

Dia juga berkata : "Saya berharap saya memiliki berita yang lebih baik untuk dunia tetapi saya tidak bisa tinggal diam mengetahui apa yang saya ketahui."

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait