Media Asing Soroti Putusan MK yang 'Halalkan' Pemblokiran Internet saat Demonstrasi di Papua, 'Demokrasi Indonesia Bisa Mundur'

Tatik Ariyani

Penulis

Peta Papua

Intisari-Online.com -Rabu (27/10/2021), Mahkamah Konstitusi (MK) menutuskan menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diajukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan yang diajukan secara daring dengan mengatakan, "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya."

Mahkamah menilai, pemblokiran dan pemutusan internet tidak ada kaitannya dengan inkonstitusional norma.

Selain itu, Mahkamah juga menilai negara berkewajiban untuk melindungi kepentingan umum dalam segala bentuk gangguan dalan menggunakan ITE atau dokumen elektronik, seperti melansir Kompas.com.

Baca Juga: Lembaga Ini Pernah Mati-matian Kecam Indonesia Gara-gara Perkara Papua, Namun Langsung Dibuat Bungkam Setelah Tau Kenyataan Sejarah Ini

Apabila ada pemblokiran dan pemutusan internet, maka pemerintah disebut Mahkamah sudah memiliki cara untuk melakukan pemulihan dengan cepat.

Maka dari itu, MK menilai pemblokiran internet tidak bertentangan dengan UU Dasar 1945 seperti yang didalilkan pemohon.

Adapun gugatan ini diajukan AJI bersama seorang warga Jayapura, Papua, bernama Arnoldus Berau.

Berdasarkan dokumen permohonan yang diunggah di laman MK RI pada Kamis (23/9/2020), diketahui bahwa pemohon mempersoalkan Pasal 40 Ayat (2b) UU ITE.

Baca Juga: Terungkap, Inilah Sosok Terduga Pelaku Utama Kerusuhan Yahukimo Papua yang Ditangkap karena Lakukan Serangan Akibat Kematian Abock Busup

Aturan tersebut dinilai sewenang-wenang karena membatasi akses informasi dan merupakan bagian dari pembatasan hak asasi manusia (HAM).

Keputusan tersebut kemudian menjadi sorotan media asing Reuters dalam artikel berjudul 'Indonesian internet blocks amid social unrest lawful, court rules' pada Rabu (27/10/2021).

Menurut keputusan MK pada Rabu, keputusan Indonesia untuk memblokir akses internet selama periode kerusuhan sosial adalah sah.

Para aktivis menyatakan bahwa langkah tersebut menjadi preseden berbahaya bagi kebebasan internet di negara demokrasi ini.

Selama demonstrasi tahun 2019 di Papua, pihak berwenang Indonesia membatasi akses internet.

Pemerintah mengatakan langkah itu sebagai upaya untuk mencegah kekerasan yang dapat dipicu oleh penyebaran disinformasi online yang cepat.

Kelompok-kelompok hak asasi mengatakan pembatasan itu melanggar kebebasan berekspresi dan diberlakukan untuk menekan kerusuhan sipil, pandangan yang ditegakkan oleh pengadilan tata usaha negara tahun lalu.

Namun, hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan langkah tersebut "masuk akal", karena mengancam ketertiban umum, dan sejalan dengan konstitusi Indonesia.

Baca Juga: Ancaman Gelombang Tiga Covid-19 di Depan Mata, Kota-kota di China Tiba-tiba Masuki Status Pra-Perang dan Negara Tetangga Ini Hadapi Ledakan Kasus Harian Mencapai 5000 Per Hari

Nurbaningsih merupakan salah satu dari sembilan hakim, tujuh di antaranya mendukung putusan pada hari Rabu.

Sementara itu, Sasmito Madrim, ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, yang merupakan bagian dari koalisi organisasi masyarakat sipil yang mengajukan uji materi tahun lalu mengatakan, “Ini bisa mengancam kebebasan pers kita, dan akhirnya demokrasi kita bisa mundur.”

Juru bicara Kementerian Komunikasi Indonesia Dedy Permadi mengatakan pemerintah akan mempelajari putusan tersebut, yang bersifat final dan mengikat, dan menggunakannya untuk memandu keputusannya untuk "mencegah penyebaran konten internet yang melanggar hukum".

Demonstrasi 2019 yang terkadang penuh kekerasan pecah di sejumlah kota setelah mahasiswa Papua di pulau Jawa diduga diejek dengan hinaan rasis dan beberapa demonstran menyerukan Papua merdeka dari Indonesia.

Akses ke beberapa media lokal, termasuk situs Suara Papua, diblokir selama protes.

Pemerintah juga membatasi akses internet di ibu kota Jakarta pada tahun 2019 setelah protes mematikan meletus.

Arif Nur Fikri, dari organisasi masyarakat sipil Kontras, mengaku khawatir pembatasan sewenang-wenang terhadap media lokal bisa terulang kembali.

Artikel Terkait