Penulis
Intisari - Online.com -Ketegangan terus meningkat sejak Agustus lalu di provinsi paling timur Indonesia, provinsi Papua, setelah lusinan warga meninggal dalam kekacauan dipicu oleh isu rasis dan diskiriminasi terhadap populasi asli Papua.
Permintaan untuk referendum kemerdekaan telah meningkat sejak saat itu.
Namun Jakarta sejauh ini merespon dengan mengirimkan lebih banyak pasukan keamanan.
Papua yang masyarakatnya adalah penduduk asli Melanesia, memiliki sejarah dengan pelanggaran HAM dan konflik politik, terutama sejak Presiden Soeharto mendapat kekuasaan di Indonesia di akhir tahun 1960-an.
Masuknya provinsi sebagai bagian dari Indonesia dilaksanakan bersamaan dengan kepentingan oleh negara-negara adidaya saat dimulainya Perang Dingin, kepentingan bisnis dan pembagian wilayah oleh Indonesia yang terhitung baru saja merdeka.
Papua menjadi bagian dari Indonesia sebagai kesepakatan baru antara Indonesia dan negara kolonialnya, Belanda.
Indonesia yang menyatakan kemerdekaan dari Belanda pada 17 Agustus 1945 ingin menyatukan semua wilayah bekas jajahan Belanda ke dalam suatu kesatuan yaitu Indonesia, termasuk Papua, yang dulu dikenal sebagai Belanda Nugini.
Namun Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua, dengan argumen jika orang asli Papua adalah secara ras dan etnis berbeda dari sebagian besar populasi Indonesia.
Ketegangan ini kemudian dibawa dalam Konferensi Meja Bundar antara Indonesia-Belanda pada 27 Desember 1949 dan bertahan lusinan tahun setelahnya.
M.C. Ricklefs mengatakan dalam bukunya "A History of Modern Indonesia" jika Indonesia dan Belanda mencapai kesepakatan pada 15 Agustus 1962 dikenal sebagai Perjanjian New York.
Berdasarkan kesepakatan itu, Belanda harus memindahkan administrasi wilayah ke Otoritas Eksekutif Sementara PBB pada 1 Oktober 1962, yang kemudian akan menyerahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Sebelum akhir 1969, Jakarta juga melaksanakan pemilihan di Papua untuk menentukan apakah warga Papua ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia atau tidak, tulis Ricklefs.
Setelah kesepakatan ditandatangani, sayangnya, perlawanan muncul karena tidak ada orang asli Papua terlibat dalam negosiasi tersebut.
Dari 14 Juli sampai 2 Agustus 1969, Aksi Pilihan Bebas (Act of Free Choice) dilakukan untuk menentukan apakah warga Papua ingin merdeka atau tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Dewan Konsultasi terdiri dari 1026 anggota memilih untuk mewakili populasi Papua sebanyak 815.904.
Itu terdiri dari 400 kepala suku dan 360 tokoh lokal, sementara 266 lainnya dari organisasi komunitas.
Mereka memilih secara publik dan anonim untuk menghormati yurisdiksi Indonesia.
Namun banyak warga Papua tidak menerima hasil referendum, menyebutnya "aksi tanpa pilihan" karena mereka merasa pilihan itu tidak mewakili orang Papua.
Laporan mengenai pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan dan kekhawatiran kekayaan hutan dan tambang secara besar-besaran dimanfaatkan warga Indonesia di luar Papua kemudian menjadi bahan bakar ketegangan di Papua.
Sebelum referendum dilaksanakan, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto, telah menandatangani kontrak dengan perusahaan tambang di AS, Freeport-McMoran, untuk memulai aktivitas tambang di Grasberg, Papua.
Yan Warinussy, direktur dari Legal Aid, Institut Pengembangan, Investigasi dan Penelitian di Manokwari, Papua, mengatakan hasil referendum tahun 1969 menjadi penyebab warga Papua enggan masuk Indonesia.
"Bahkan warga non-Papua terlibat dalam referendum tersebut. Ini adalah masalah yang selalu diperdebatkan dari waktu ke waktu. Referendum 1969 tidak akan pernah bisa mewakili keinginan warga Papua," ujarnya.
Warinussy menekankan jika pemerintah Indonesia perlu "meluruskan" sejarah Papua yang mulai sejak referendum sehingga tidak akan menjadi pemicu konflik di Papua.
Status "Aksi Pilihan Bebas" sudah ditetapkan
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan sifat hukum hasil Aksi Pilihan Bebas 1969 sudah sangat pasti.
Faizasyah mengatakan plebisit itu diadakan berdasarkan kesepakatan antara Indonesia, Belanda dan PBB dengan mekanisme persetujuan dan peraturan, termasuk sistem perwakilan.
Ia mengatakan sistem perwakilan masih relevan untuk kondisi sementara saat warga Papua kini familier dengan sistem 'noken' yang memperbolehkan wakil rakyat memberikan surat suara baik pada pemilihan umum maupun pemilihan daerah.
"Hasil plebisit kemudian dibawa ke Dewan Umum PBB dan diterima. Sehingga pertanyaan mengenai Aksi Pilihan Bebas sangatlah tidak masuk akal,"ujarnya.
Aksi Pilihan Bebas, ia sebutkan, adalah kesepakatan politik antara Indonesia dan Belanda setelah Indonesia mendapatkan bekas jajahan koloni VOC dari Sabang sampai Merauke.
"Setelah Konferensi Meja Bundar, Papua seharusnya diberikan ke Indonesia, tapi Belanda tidak melakukannya, dan akhirnya, ada proses politik," ujar Faizasyah.
Faizasyah menyebut hal yang mirip terjadi di Afrika di mana mereka terpisah dalam negara-negara kecil walapun secara etnis dan budaya mereka mirip.
"Afrika dijajah banyak negara. Sehingga setelah kemerdekaan, mereka dipisahkan oleh garis-garis kecil yang disetujui oleh para negara-negara kolonial," tambahnya.
Perlawanan dan pelanggaran HAM di Papua
Ketidakpuasan warga Papua memicu lebih banyak perlawanan dengan pembentukan pergerakan politik-militer yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pasukan bersenjata melawan pertama kalinya pada 26 Juli 1964 di Manokwari.
Menurut laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul "Status Terkini Pergerakan Pro-Kemerdekaan Papua," aktivitas tambang Freeport pada 1973 memicu aksi militer OPM di Timika.
Pada Mei 1977, sekitar 200 gerilyawan OPM menyerang perusahaan tambang tersebut, dan pemerintah merespon dengan operasi militer.
Lahan Freeport awalnya menjadi lahan milik suku Amungm dan Komoro, yang merupakan suku asli Papua.
Dalam sebuah buku berjudul "Menggugat Freeport," penulisnya, Markus Haluk, yang juga eksekutif direktur dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengatakan 60 anggota suku Amungme menjadi korban kekerasan militer selama operasi tersebut.
Sementara itu, kasus pelanggaran dan kekerasan terus terjadi di Papua.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini