Penulis
Intisari-Online.com - Pada akhir 2020 lalu, sosok Benny Wenda menggemparkan Indonesia dengan mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara Papua Barat.
Deklarasi tersebut bukan hanya dikecam oleh Pemerintah Indonesia, tetapi juga ditolak rakyat Papua sendiri.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, saat itu menyatakan bahwa pimpinan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) tersebut tengah merancang negara ilusi.
Menurutnya, deklarasi pendirian negara Papua Barat juga tidak memenuhi syarat. Misalnya, mengenai keberadaan masyarakat, wilayah, dan pemerintahan, hingga pengakuan dari dunia internasional.
Ia pun mempertanyakan bagaimana Benny Wenda memimpin negara dengan kewarganegaraannya yang telah dicabut di Indonesia dan berada di Inggris sebagai tamu.
Terkait kewarganegaraan Benny Wenda, juga menjadi alasan Organisasi Papua Merdeka (OPM) menolak klaimnya terkait pembentukan Pemerintah Sementara Papua Barat.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) tak bisa mengakui klaim tersebut karena menurut mereka Benny Wenda merupakan warga negara asing.
"Benny Wenda lakukan deklarasi dan umumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat bangsa Papua, dan juga di luar dari wilayah hukum revolusi," kata Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambon, kepada VOA melalui keterangan tertulisnya, Rabu (2/12/2020).
Menurutnya, Benny Wenda adalah warga negara Inggris, "menurut hukum international bahwa warga negara asing tidak bisa menjadi presiden Papua Barat," katanya.
Tapi, seolah tak kapok dengan penolakan tersebut, baru-baru ini Benny Wenda muncul dengan pernyataannya yang menuding bahwa Indonesia “menari di atas kuburan” rakyatnya, terkait penyelenggaraan PON di Papua.
Melansir Morning Star (6/10/2021), Benny Wenda mencap acara yang digelar hingga 15 Oktober itu sebagai “latihan PR oleh pemerintah Indonesia untuk menutupi bukti pembunuhan massal” di Papua Barat.
“Saya meminta orang-orang saya untuk mengabaikan permainan ini dan fokus untuk membebaskan kami dari tirani ini,” kata Benny Wenda, seraya menambahkan bahwa Papua Barat sedang berduka selama tiga tahun operasi militer Indonesia yang meningkat.
Dia mengaku memiliki informasi baru yang mengungkapkan bahwa setidaknya 26 tokoh politik terkemuka dan 20 pemimpin intelektual dan agama telah meninggal secara misterius di Papua Barat dalam tiga tahun terakhir setelah berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan.
Menurutnya, banyak dari mereka ditemukan tewas di kamar hotel dengan serangan jantung yang tidak dapat dijelaskan dan tidak ada bukti forensik untuk memverifikasi klaim Indonesia tentang penyebab kematian mereka.
“Ini adalah pembunuhan sistematis, bagian dari rencana Jakarta untuk menghapus semua perlawanan terhadap kekuasaannya di Papua Barat,” tuduhnya.
Ia mengatakan, kematian tersebut terjadi pada saat yang sama ketika Indonesia mengirim lebih dari 20.000 tentara baru ke Papua Barat.
"Mereka membunuh kami karena kami berbeda, karena kami berkulit hitam," ujarnya.
Benny Wenda pun mengatakan bahwa lebih dari 50.000 orang Papua Barat telah mengungsi sejak Desember 2018.
Selain itu, menurutnya lonjakan pasukan pada bulan April telah menyebabkan tindakan keras lebih lanjut terhadap rakyatnya.
Benny Wenda sendiri melarikan diri dari tahanan Indonesia pada Oktober 2002 silam, ia diduga melarikan diri ke Papua Nugini sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Inggris.
Ia ditangkap polisi lantaran dituding menghasut masyarakat dan memimpin sejumlah pertemuan gelap untuk menyerang pos-pos TNI/Polri pada Juni 2002.
Pada 2003, tak lama setelah melarikan diri dari Indonesia, Benny memperoleh suaka dari Pemerintah Inggris dan menetap di sana bersama keluarganya.
Lama menetap di Inggris, Benny pun memiliki jaringan internasional yang luas, bahkan pernah bertemu Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang difasilitasi Pemerintah Vanuatu.
Jejaring internasionalnya semakin berkembang lewat penghargaan yang ia terima dari Dewan Kota Oxford pada 17 Juli 2019, yang juga membuat Pemerintah Indonesia meradang.
(*)