Penulis
Intisari-Online.com -Wajar jika Anda sedih mengenai Afghanistan, tapi pakar menyebut salahkan invasi Irak untuk hal ini.
Atau tepatnya, salahkan mantan pejabat-pejabat AS yang gagal dalam proyek membangun negara 20 tahun terakhir ini baik di Afghanistan maupun Irak.
Presiden AS Joe Biden, yang tanpa upacara menarik pasukan AS keluar dari Afghanistan 31 Agustus, mengatakan seluruh kependudukan Afghanistan adalah kesalahan yang mahal.
Padahal ketika ia menjabat sebagai senator AS, ia mengira hal tersebut adalah ide yang bagus.
Namun tidak secepat itu menurut pejabat revisionis.
Melansir Asia Times, kesalahan ini adalah karena perang Afghanistan sejujurnya merupakan pecahan perang Irak dan bagian dari skema pembangunan negara yang lebih luas, yang menarik perhatian dari Afghanistan dan mengubah taktik di sana.
Ini mungkin menjadi cara memanggil 'neo-kontra' yang dengan keputusan sepihaknya mundur sampai Perang Vietnam, yaitu untuk membela keputusan buruk.
Atau bisa juga menjadi cara menahan desakan menghukum dengan pembangunan negara sebagai alat politik luar negeri yang berguna dalam perang melawan teror.
Itulah sebabnya pasukan militer tidak cukup, lebih baik malah justru pemerintahan dan demokrasi.
Dilihat seperti apapun, anti doktrin pembangunan negara Biden semakin meningkat.
Serangan ke Afghanistan diperintahkan oleh Presiden George W. Bush merespon serangan teroris 11 September 2001 di New York dan Washington.
Pasukan AS bersama dengan sekutu suku Afghanistan mendorong pergi Taliban yang menguasai negara itu, dan sekutu al-Qaeda yang melancarkan serangan 9/11 di Washington.
Taliban kembali pada 14 Agustus ketika Biden mendesak menarik pasukan AS terakhir, warga AS dan sekutu Afghanistan pada 31 Agustus.
AS menyerang Irak kurang dari 2 tahun setelah serangan 9/11 dan mendudukinya selama 8 tahun.
Pengadilan atas hal tersebut dibayangi banyak hal dan penuh dengan tuduhan palsu melawan Saddam Hussein presiden Irak.
Secara khusus, pemerintahan Bush mengatakan ia mengembangkan senjata nuklir dan telah berhubungan dengan al-Qaeda, tapi keduanya ternyata salah.
Campur tangan Bush membuat marah atas serangan 9/11.
Semua dengan dilihat secara berlebihan oleh pemerintahan Bush dan kemudian oleh pemerintahan AS selanjutnya, tentunya dengan antusiasme yang menurun.
Pengeluarannya bisa dibandingkan, walaupun lebih banyak di Irak.
Sekitar 2500 warga AS meninggal di Afghanistan, 4500 meninggal di Irak; kemudian tercatat kematian yang tak terhitung dari warga Afghanistan dan Irak dan kehancuran luas di dua negara; ratusan miliar Dollar dihabiskan untuk membangun kedua negara; latihan militer mahal di keduanya yang sama-sama gagal memproduksi pasukan yang efektif, dan kemudian reputasi AS yang dipertaruhkan di seluruh dunia.
Namun ada perbedaan yang mencolok semua mata, selama hampir kepemimpinan Bush, kekuatan pasukan di Afghanistan tidak pernah melebihi 20 ribu pasukan dan kebanyakan terlibat dalam pelatihan dan membangun sekolah.
Sementara itu Presiden Barack Obama merespon kekuatan Taliban dan kemunculan al-Qaeda lewat ISIS, meningkatkan pasukan lebih dari 100 ribu tapi kemudian menurunkan jumlahnya sampai 8000 pasukan ketika kampanye presiden 2016.
Dilanjutkan Donald Trump, pasukan di Afghanistan ternyata menurun hanya sampai 3000 pasukan saja.
Pasukan invasi AS di Irak sejumlah 125 ribu tentara dan melebihi 170 ribu di tahun 2007 untuk mempertahankan Baghdad melawan ISIS.
Biden mengakhiri campur tangan di Afghanistan, tapi tidak di Irak, di mana Trump meninggalkan 2500 tentara.
Biden meninggalkan kru tengkorak di sana, tidak untuk memburu al-Qaeda atau ISIS, tapi untuk mengawasi militan Irak yang didukung Irak.
Beberapa pejabat yang terlibat dalam kedua campur tangan telah berbicara dengan media untuk mengidentifikasi dosa apa sebenarnya dari campur tangan Irak: mendorong Afghanistan menjadi panggung sampingan.
"Kesalahan sinyal, jika disebut demikian, dari administrasi Bush adalah pergi ke Irak," ujar John Negroponte, dubes AS untuk Irak tahun 2004 dan 2005 dan kemudian menjadi direktur intelijen nasional Bush.
Pensiunan jenderal David Patraeus, yang mengamati pasukan di dua negara mengatakan, "Anda fokus ke Irak sangat awal sehingga kita tidak pernah paham situasi di Afghanistan.
"Kita sedang menjalankan program pasukan keamanan skala industri yang masif di Irak dan masalah ini di Afghanistan hanya mengalir dari tangan ke mulut.
"Kami benar-benar melewatkan kesempatan membangun pasukan keamanan dalam cara serius dan memulai mendukung pemerintahan suatu negara."
Karl Eikenberry, letnan jenderal Angkatan Darat yang bertugas di Afghanistan dari 2005-2007 dan menjadi dubes AS di sana dari 2009-2011, mengiyakan hal tersebut.
"Bukan berarti setelah 9/11 ada rencana rinci untuk menyerang Irak. Namun kurasa kemungkinan ada rasa dari beberapa pemimpin sipil yang menginginkan dengan cepat mengurusi Afghanistan kemudian memusatkan upaya sepenuhnya di Irak" ujarnya.
Kritik ini tidak sepenuhnya baru, banyak kritik serupa dari pemerintahan dalam negeri AS mengkritik demikian.
Penasihat Bush, Douglas Lute, mengatakan "Perhatian terpecah hampir 85% ke Irak dan 15% ke Afghanistan, atau mungkin 90% ke Irak dan 10% ke Afghanistan."