Intisari - Online.com -Tahun 2013 lalu pengadilan warga kota diadakan di Sydney, membahas pembantaian massal di Biak pada 6 Juli 1998.
Mengutip The Guardian, sejumlah penduduk sipil tidak bersenjata disiksa dan dibunuh dan jasad mereka dibuang di sungai dalam pembantaian.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dituduh menjadi biang kerok yang terjadi 23 tahun itu.
Kejadian terjadi ketika warga Papua Barat yang berdemo untuk kemerdekaan mereka di pulau Biak dibunuh dalam serangan yang dikoordinasi oleh militer Indonesia dan polisi.
Sejumlah besar warga ditahan, menurut penemuan Pengadilan Kota Pembantaian Biak.
Banyak dari tahanan yang kemudian diperkosa dan dimutilasi dalam aksi yang mengerikan dan personil TNI bertanggung jawab untuk serangan itu belum tercatat sebelumnya.
Kini, kenyataan baru terkuak di tahun 2021 tepatnya di bulan September lalu.
Menjelang senja, di bawah menara air di pulau Biak, Papua Barat, Yudha Korwa mengalami pendarahan di tanah.
Empat hari sebelumnya, murid SMA yang berharap penuh dengan Orde Reformasi pasca Soeharto, bergabung dengan ratusan aktivis kemerdekaan lain untuk mengibarkan Morning Star, bendera Papua Barat yang terlarang, di dekat pelabuhan Biak.
Namun dengan segera Yudha Korwa berjibaku melawan kematian, dan di detik-detik terakhir hidupnya ia menyaksikan pemandangan mengerikan di sekitarnya.
Korwa ingat mendengar teriakan "tolong saya, tolong saya, tolong saya" dan auman helikopter TNI di sekitarnya, menembakkan peluru kepada para pengunjuk rasa.
Wanita dan anak-anak dimutilasi dengan singkat di depan matanya.
Beberapa menyanyikan himne ketika TNI memulai tembakan.
Peluru-peluru tersebut menembus leher dan perut kedua teman Korwa.
"Mereka membunuh seperti membunuh binatang," ujarnya.
"Mereka tidak berpikir jika kami ini manusia, mereka berpikir kami binatang."
Tengkorak Korwa pecah karena tembakan senapan TNI dan perutnya berdarah hebat dari luka parang, ia sudah hampir tewas.
Hanya satu pikiran yang mencegahnya mati: ia harus hidup, sehingga seseorang bisa mengatakan kepada dunia apa yang telah terjadi di Biak pada 6 Juli 1998.
"Aku berpikir 'aku tidak akan mati hari ini, karena suatu hari aku akan mengatakan komunitas internasional apa yang telah terjadi di sini'."
23 tahun setelahnya, tidak ada satupun orang dikenai tuntutan atas pembunuhan tersebut.
Baca Juga: Di Masa Majapahit Juga Sudah Dikenal Transmigrasi Bahkan Sampai ke Papua Sana, Ini Buktinya
Pembantaian itu tidak dikenali secara resmi dan tidak ada pemerintahan atau badan internasional yang melaporkannya.
Pemerintahan Indonesia antara menyangkal atau memperkecil angka kematian.
Ketika jasad-jasad mulai tercuci di pantai-pantai Biak, banyak yang dimutilasi dengan mengerikan, tapi TNI menyalahkan tsunami di Papua Nugini, lebih dari 1000 km jauhnya.
Australia hanya menawarkan respon bisu, mengutarakan kekhawatiran kepada pemerintahan Indonesia tapi tidak mengecam pembantaian tersebut.
Namun sejauh mana pengetahuan pemerintahan Howard terhadap pembantaian tersebut sampai sekarang masih belum diketahui secara utuh.
Meski begitu, laporan terbaru dari intelijen yang diberikan kepada Guardian Australia membeberkan jika perwira intelijen Australia memberikan bukti kuat kepada pemerintah hanya 11 hari setelah pembunuhan jika Indonesia "hampir pasti menggunakan kekuatan berlebihan terhadap demonstran pro-kemerdekaan".
Pejabat yang sama juga memberikan bukti foto oleh warga Papua di Biak, dengan risiko keselamatan mereka.
Foto-foto tersebut disebarkan ke atasan di dalam pertahanan, tapi tidak ada sampai sekarang.
Bukti baru menunjukkan foto-foto tersebut telah dihancurkan oleh departemen pertahanan walaupun panggilan konsisten untuk investigasi yang cakap atas kejahatan tersebut.
"Dari dokumen… aku bisa melihat Australia masih menunggu, mereka masih diam dan kehilangan mulut mereka dan berpura-pura mereka tidak tahu apa yang terjadi," ujar Korwa.
"Namun ini bukan lagi rahasia."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini