Intisari - Online.com -Anda perlu tahu tentang perjuangan warga pulau Bougainville, atau Daerah Otonom Bougainville.
Mayoritas warga memperjuangkan kemerdekaan pulau itu dari Papua Nugini tahun 2019 lalu.
Namun Covid-19 menunda semuanya.
Kini, nasib mereka akan dibicarakan lagi.
Mengutip Lowy Institute, walaupun hasil referendum tahun 2019 lalu meyakinkan, ada kenyataan mengerikan jika pemungutan suara yang dilakukan bersifat tidak mengikat dan menjadi sasaran untuk ratifikasi oleh parlemen Papua Nugini.
Latar belakang konteks yang penting adalah selama proses perdamaian itu, pemimpin Bougainville dibujuk oleh para pemain internasional termasuk mantan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, untuk setuju dengan referendum tidak mengikat.
Bougainville diyakinkan dengan janji komunitas internasional akan menekan Papua Nugini untuk menghormati hasil pemungutan suara tersebut.
Dengan perhatian publik kini secara besar-besaran mengarah pada meningkatnya kasus Covid-19 di sepanjang Papua Nugini, yang memicu lockdown dua minggu di Bougainville, janji kemerdekaan daerah otonom tersebut tentu dikesampingkan.
Penjelasan mengenai "apa yang perlu kamu ketahui" dari media mengenai potensi "lahirnya suatu bangsa" hanya terbilang dalam jangka pendek saja, dan pengamat internasional yang hadir selama referendum telah kembali ke rumah mereka.
Mengingat sejarah lemahnya koordinasi antara Papua Nugini dan pemerintah Bougainville dalam penerapan kesepakatan perdamaian 2001, kehilangan fokus pada Bougainville berisiko penundaan lebih jauh atas proses yang panjang dan kompleks.
Di antara isu-isu yang penting antara lain pengaturan keuangan antar pemerintah, penarikan kekuasaan dari Pemerintah Nasional ke Pemerintah Otonom Bougainville, dan ulasan gabungan terhadap otonomi tersebut.
Kedua pemerintah saat ini sedang dalam periode konsultasi mandat pasca-referendum yang sifatnya konstitusional dan telah sepakat terhadap jadwal untuk pemindahan kekuasaan tahun 2023, dan kemerdekaan utuh tahun 2027.
Namun konsultasi pertama tidak diadakan sampai hampir 18 bulan setelah hasil referendum diumumkan.
Alasan-alasan untuk penundaan itu termasuk antara lain proses politik dan tantangan dari pihak Bougainville, tapi juga kurangnya fokus dari Papua Nugini dan kesiapan mereka.
Secara krusial, Kesepakatan Perdamaian Bougainville, yang menjadi dasar lahirnya "prinsip-prinsip yang disetujui untuk Referendum Bougainville," tudak menggambarkan jadwal untuk waktu konsultasi, atau tenggat waktu untuk persetujuan yang diperlukan oleh parlemen nasional sebagai otoritas pembuat keputusan final.
Komunitas internasional memiliki peran penting untuk dimainkan dalam membuat Bougainville dalam agenda internasional.
Perwakilan politik di pihak Bougainville sedang mengirimkan taktik mereka sendiri.
Contohnya, anggota parlemen Bougainville Pusat, Sam Akoitai, telah memperingatkan parlemen nasional atas deklarasi kemerdekaan unilateral yang lain oleh warga jika hasil mereka tidak dihormati.
Lainnya, seperti Wakil Presiden Daerah Otonom Bougainville, Patrick Nisira, telah mendesak warga Bougainville untuk tetap siap siaga saat mereka memasuki era menantang lainnya atas ketidakpastian politik.
Mungkin langkah yang lebih jelas, anggota parlemen Bougainville Utara, William Nakin, telah berterima kasih kepada semua pemimpin lawas dan berterima kasih secara khusus kepada Perdana Menteri James Marape untuk memprioritaskan isu Bougainville dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Mengikuti pembicaraan antar pemerintah di Wabag Juli lalu, Marape menggarisbawahi kemungkinan pentingnya perpisahan Bougainville dari Papua Nugini akan ditutupi oleh Covid-19.
Marape menggambarkan kemerdekaan Bougainville sebagai tantangan terbesar yang dihadapi Papua Nugini, lebih besar daripada pandemi dan ekonomi.
Ketakutan yang sudah menjadi rahasia umum di antara elit politik Papua Nugini, termasuk Gubernur Jenderal Sir Bob Dadae, adalah jika kemerdekaan Bougainville dapat menjadi pemicu provinsi-provinsi lain memisahkan diri dan mengancam persatuan nasional.
Hal ini tampaknya juga menjadi ketakutan warga Papua Nugini dalam populasi lebih luas.
Contohnya, dalam studi sebelumnya yang cakupannya kecil melibatkan 21 siswa universitas di Papua Nugini yang merespon atas referendum Bougainville, didapat hasil berikut ini.
"…ada kemungkinan sangat nyata jika kemerdekaan itu akan memberi dampak riak atas keinginan otonomi dari provinsi-provinsi Papua Nugini lain yang merasa mereka punya keuntungan lebih besar dari perkembangan wujud fisik dari uang yang mereka buat dari sumber daya ini. Tidak diragukan mereka menonton ini dengan antisipasi."
Sementara implikasi dominan dari kemerdekaan Bougainville bagi Papua Nugini seringnya ditunjukkan dalam hal kehilangan ekonomi dari sumber daya mineral, coklat, kopra dan kelautan, Papua Nugini juga bisa kehilangan budaya dari identitas nasional mereka.
Buktinya antara lain pernyataan sebagai berikut:
"… Anda tahu jika mereka memiliki budaya yang indah yang membuat Papua Nugini lebih berwarna dan lebih beragam. Sehingga, itulah salah satu hal yang ketika mereka memisahkan diri, kami akan kehilangan beberapa bagian dari budaya kami."
"… Bougainville adalah bagian dari budaya kami dan jika mereka menjadi negara sendiri, kami akan kehilangan bagian unik dari identitas budaya kami."
"… sebagai warga Papua Nugini, melihat Bougainville mendapat kemerdekaan, aku benar-benar tidak suka. Kami telah tinggal bersama selama 45 tahun."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini