Intisari-Online.com - Baru-baru ini Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melaporkan dua menteri Presiden Joko Widodo ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan keterlibatan dalam bisnis polymerase chain reaction (PCR).
Mereka yang dilaporkan oleh Prima adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Baik Luhut maupun Erick Thohir, dikaitkan dengan kepemilikan saham di PT Genomik Solidaritas Indonesia (PT GSI), salah satu pemain besar dalam penyediaan tes PCR dan antigen.
GSI merupakan perusahaan baru yang didirikan tak lama setelah pandemi Covid-19 merebak di tahun 2020, di mana sejumlah pengusaha besar ikut patungan untuk membuat PT GSI.
Sementara itu, menanggapi isu yang tengah diperbincangkan tersebut, kedua Menteri Presiden Jokowi itu pun buka suara yang diwakili oleh masing-masing juru bicaranya.
Melansir Kompas.com(5/11/2021), Luhut melalui Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi, mengklaim tidak pernah sedikit pun mengambil keuntungan pribadi dari bisnis yang dijalankan PT GSI.
Jodi juga menjelaskan bahwa Luhut hanya memiliki saham kurang dari 10 persen di Toba Bumi Energi, anak perusahaan Toba Bara Sejahtera yang ikut menggenggam saham di PT GSI. Jodi menyebut, ada 9 pemegang saham berinvestasi di GSI.
Ia berujar, soal kenapa perusahaan Luhut ikut patungan membentuk PT GSI, hal itu semata dilakukan untuk tujuan sosial, bukan mengejar keuntungan bisnis.
Baca Juga: Para Wanita Israel Kuno Punya Jimat Khusus Penarik Hati Pria, Seperti Apa Kehidupan Masa Itu?
Sementara itu, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menampik Erick terlibat dalam bisnis tes PCR.
Menurutnya, isu yang menyebut Erick ikut berbisnis tes PCR adalah hal tendensius. Selain itu, ia juga mengatakan, rendahnya kepemilikan saham Yayasan Adari Bangun Negeri sebesar 6 persen, membuat pengaruhnya terhadap GSI sangat minim.
Yayasan Adaro Bangun Negeri sendiri berkaitan dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO), perusahaan yang dipimpin oleh Boy Thohir, saudara Erick Thohir.
Kedua Menteri Presiden Jokowi membantah, bagaimana menurut pihak yang melaporkan dugaan tersebut?
Laporan terhadap dua menteri itu, menurut Wakil Ketua Umum Prima, Alif Kamal, dilakukan berdasarkan hasil investigasi pemberitaan media terkait dugaan adanya keterlibatan pejabat negara dalam bisnis PCR.
"Sebenarnya yang beredar di media itu sudah banyak, investigasi dari Tempo minimal," ujar Alif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (4/11/2021).
Alif menilai, investigasi pemberitaan media terkait keterlibatan dua pejabat itu patut ditindaklanjuti oleh KPK sebagai data awal.
Sehingga ia meminta untuk selanjutnya KPK mendalami lebih jauh terkait dugaan adanya penggunaan kekuasaan untuk bermain dalam bisnis PCR.
Prima berharap, KPK dapat mempelajari kliping majalah yang dibawa dalam laporannya dan menindaklanjuti laporan tersebut.
"Kami minta KPK untuk mengklarifikasi berita beredar sesuai aturan pengadaan barang dan jasa," kata Alif.
Sementara melalui pernyataan kepada pada KOMPAS TV, Kamis (4/11/2021), Ketua Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer, mengatakan bahwa di lingkaran Presiden Jokowi dipastikan ada yang terlibat dalam bisnis PCR.
Bahkan, ia menegaskan dirinya bertanggung jawas atas pernyataannya.
“Saya nggak mau pakai kata dugaan, saya bertanggung jawab atas apa yang saya sampaikan,” katanya.
“Kenapa kami tidak memakai kata dugaan atau indikasi, orang sudah pasti kok. Kan saya bertanggung jawab. Kalau mereka tidak suka, mereka laporkan saya bisa dipidana.”
Immanuel mengutarakan hiruk pikuk soal biaya tes PCR terjadi ketika pihaknya menggugat Instruksi Menteri No 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.
“Instruksi menteri ini bertentangan dengan Undang-Undang 1945 Pasal 23 ayat A yang berkaitan dengan anggaran yang bersifat memaksa itu harus melalui undang-undang,” ujarnya.
“Dan ini sudah banyak pelanggarannya," katanya.
Bagi Immanuel, akan sangat berbahaya bagi Jokowi ketika di sekelilingnya mencoba mencari kesempatan atau keuntungan di tengah penderitaan rakyat.
“Ini bahaya sekali,” tegas Immanuel.
Immanuel lebih lanjut juga menyoroti soal PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang mengklaim tidak mencari keuntungan dalam tes PCR.
Berdasarkan hasil temuan, Immanuel mengungkapkan, PT GSI sejak 2000 hingga 2021 sudah 7 kali melakukan perubahan akta.
“Dari mana tidak mencari keuntungannya (GSI), kita sudah menemukan data dari tahun 2000 sampai 2021, GSI itu sudah 7 kali perubahan akta,” ucap Immnuel.
“Artinya mereka coba menyamarkan bisnis mereka di dalam PCR ini, artinya republik ini seperti republik gangster lah yang membuat kita malu.”
Immanuel mengatakan bahwa dalam negara demokrasi seharusnya good governance melakukan transparansi dengan mengungkap berapa angka sesungguhnya tes PCR.
Baca Juga: Coba Sekarang! Ini 8 Cara Ampuh Mengusir Tikus, Kecoak, Lalat dan Semut dari Dapur di Rumah Anda
“Ini harga PCR sebetulnya berapa? Ini kan tidak diungkap,” katanya.
"Dan kita menemukan terakhir kemarin, harga antigen itu cuma Rp18.000 per stik kok mereka naikin Rp100 ribu, kan kurang ajar mengambil bisnis di tengah penderitaan rakyat ini.”
Immanuel menambahkan, jika pesta di balik mahalnya harga tes PCR dan antigen tidak dihentikan, maka akan sangat berbahaya bagi pemerintahan Jokowi.
“Ini pemeras semua, pemeras. Karena PCR ini lucu dari Rp2 juta, Rp1 juta, kemudian Rp450 Ribu, Rp275, ini kan dilelang harganya, kurang ajar,” katanya.
(*)